Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menolak Dengan Cara Yang Baik


Pepatah Jawa mengatakan:
"Wong lanang menang milih, wong wadon menang nolak".
Yakni, seorang lelaki menang dalam memilih wanita mana saja yang dikehendaki, sedangkan wanita lebih menang untuk menolak lelaki mana saja yang tidak disukai. Pun begitulah dalam sebuah proses ta'arruf. Ikhwan dan akhwat, masing-masing punya hak untuk memutuskan menerima atau menolak. Maka, adalah perkara yang wajar bila sebuah proses ta'aruf harus kandas di tengah jalan, tidak bisa berlanjut ke jenjang pernikahan, dikarenakan adanya ketidak cocokan. Agamapun tidak memaksa untuk berlanjut jika memang tidak sreg di hati atau tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Cuman, yang terkadang menjadi persoalan adalah, sering kita jumpai "cara menolak" yang dilakukan oleh pihak ikhwan atau akhwat yang kurang baik, bahkan menyakiti atau menyinggung perasaan. Bahkan, tak jarang pula, ikhwan atau akhwat - yang mungkin karena takut atau malu melakukan penolakan - dia seperti lenyap ditelan bumi, tanpa kabar berita, hingga jawaban pun menggantung sekian lama. Tentu, ini adalah hal yang tidak patut, bahkan menyakiti perasaan. Cobalah menjalin komunikasi dengan baik. Bicarakan semuanya dengan hati yang dingin dan pikiran yang jernih. Jangan sampai ta'arruf yang sejatinya bertujuan mulia, malah justru berakhir dengan kebencian dan permusuhan.

Bila tidak bisa menyampaikan penolakan secara langsung kepada pasangan ta'arruf, mungkin bisa disampaikan kepada wali atau wakilnya. Misalnya, si Ikhwan menyampaikan penolakan terhadap si Akhwat, melalui ayahnya:
"Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk bisa ta'arruf dengan putri Bapak.
Sungguh, dalam penilaian saya, putri Bapak adalah sosok wanita yang ideal dan sholihah insyaAllah. Akhlaqnya baik dan selalu menjaga kehormatan.
Namun, dengan sangat menyesal saya harus sampaikan kepada Bapak, bahwa saya tidak bisa lanjut dengan putri Bapak.
Bukan karena apa, tapi mungkin namanya kecenderungan hati ini yang tidak bisa dipaksakan.
Saya khawatir bila saya paksakan perasaan ini, kelak saya hanya menzhalimi putri Bapak.
Saya berdoa semoga putri Bapak dianugerahi Allah pengganti yang lebih baik dari saya.
Putri Bapak wanita yang istimewa.
InsyaAllah dia akan mendapatkan pendamping hidup yang istimewa pula.
Sekali lagi, terimakasih atas semuanya, Bapak......"    

Begitu pula dengan akhwat.
Bila menolak, maka tolaklah dengan cara yang baik dan tetap menghargai.
Misalnya, dengan mengatakan:
"Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih, jazakallahu khairan, atas kesempatan ta'arruf ini. Saya meyakini bahwa ta'arruf adalah sarana syar'i yang membawa pada kebaikan.
Saya melihat antum sebagi lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Namun, saya minta maaf karena sepertinya Allah belum membukakan pintu hati saya untuk menerima antum.
Saya tetap menghargai antum sebagai saudara saya seiman.
Namun, persoalan hati memang tidak bisa dipaksakan.
Doa saya, semoga kelak Allah pertemukan antum dengan bidadari sholihah sebagai pendamping hidup antum dalam ketaatan dan kebahagiaan.
Al'afwu minkum.
Barakallahu fiikum......"

InsyaAllah, dengan bahasa yang baik seperti ini, penolakan yang ada tidak akan terasa menyakitkan, melainkan bisa sebagai sarana untuk tetap saling mensupport dan mendoakan bagi kebaikan masing-masing pihak.

Jauhilah sejauh-jauhnya menggunakan ungkapan yang mengarah pada kekurangan pasangan, baik dalam hal fisik, materi, ilmu, pendidikan, karakter, dll.
Betapapun memang kekurangan itu ada, namun sebaiknya disimpan saja dalam hati. Jangan diungkapkan lewat bahasa penolakan.
Kasihan, hal itu bisa menyakitinya dan merasa tidak dihargai.
Hmmm......ingin mencoba?

Sumber