Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perjalanan Dakwah Ustad Fadzlan Di Bumi Papua


Pria ini bernama M Zaaf Fadlan Rabbani Al-Garamatan. asli Irian, berkulit gelap, berjenggot kemana-mana memilih membalut tubuhnya dengan jubah.

Lahir dari keluarga Muslim, 17 Mei 1969 di Patipi, Fak-fak, sejak kecil dia sudah belajar Islam. Ayahnya adalah guru SD, juga guru mengaji di kampungnya.

Pengetahuan ilmu agamanya kian dalam ketika kuliah dan aktif di berbagai organisasi keagamaan di Makassar dan Jawa. Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini akhirnya memilih jalan dakwah. Dia mendirikan Yayasan Al Fatih Kaaffah Nusantara. Melalui lembaga sosial dan pembinaan sumber daya manusia ini, Ustadz Fadlan begitu ia kerap disapa mengenalkan Islam kepada masyarakat Irian sampai ke pelosok. Dia pun mengembangkan potensi dan sumber daya yang ada, mencarikan kesempatan anak-anak setempat mengenyam pendidikan di luar Irian.

== Curhat Ust.Fadlan ==

Dikisahkan oleh Ust.Fadlan bahwa orang-orang muslim di Indonesia, masih terbersit opini bentukan penjajah bahwa di wilayah Indonesia Timur, terutama Papua, banyak penduduknya yang non muslim masih melekat. Hal itu pernah ia buktikan kala mengisahkan pengalamannya saat Ust.Fadlan masuk kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar di tahun 80’an. Dia pernah diusir oleh dosen agama Islam hanya karena berkulit hitam dan berambut keriting. Tapi sebelum keluar, dia sedikit protes dengan mengajukan empat pernyataan.

”Apakah agama Islam hanya untuk orang berkulit putih, Jawa, Bugis atau untuk semua orang yang hidup di dunia? Siapa sahabat nabi Saw yang berkulit hitam dan berambut keriting namun merdu suaranya? Siapa saja yang ada dikelas ini yang bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar?” tandasnya.

Ditanya seperti itu, sang dosen hanya menanggapi pertanyaan yang ke-3 saja. Ternyata, dari 47 mahasiswa yang hadir, hanya tujuh orang yang bisa. Salah satunya adalah orang yang berkulit hitam dan berambut keriting tersebut. Langsung saja Ustadz Fadlan mendapat kesempatan memberi nasehat kepada semua yang di kelas yang tadi mau mengusirnya. Selama dua jam dia memberi nasehat, sehingga mata kuliah agama hari itu selesai.

Dosennya pun langsung menyatakan Ustadz Fadlan lulus dengan nilai A di hari pertama masuk kelas agamalah. Karena, selain puas dengan nasihat Ustadz Fadlan yang menyatakan jangan merasa bangga hanya karena beda warna kulit atau lainnya, Fadlan mampu membaca Alqur’an (salah satu kemuliaan agama Islam) dengan baik dan benar.

Mulai Berdakwah

Lulus sebagai sarjana ekonomi, Fadlan tidak memilih untuk menjadi pegawai negeri atau pengusaha, tapi Da’i, penyeru agama Islam dan mengangkat harkat martabat orang Fak-fak, Asmat, dan orang Irian lainnya. Dia tidak setuju kalau orang-orang ini dibiarkan tidak berpendidikan, telanjang, mandi hanya tiga bulan sekali dengan lemak babi, dan tidur bersama babi. Semua penghinaan itu hanya karena alasan budaya dan pariwisata. ”Itu sama saja dengan pembunuhan hak asasi manusia” katanya.

Dia pun berjuang dan berdakwah untuk semua itu. Tempat yang pertama kali dikunjungi adalah lembah Waliem, Wamena. Dengan konsep kebersihan sebagian dari iman, Fadlan mengajarkan mandi besar kepada salah satu kepala suku. Ternyata ajaran itu disambut positif oleh sang kepala suku. ”Baginya mandi dengan air, lalu pakai sabun, dan dibilas lagi dengan air sangat nyaman dan wangi,” jelasnya.

Selain itu juga ada beberapa orang yang tertarik dengan ibadah sholat. Sambil mengingat masa itu, dia bercerita, ”Di Irian itu, babi banyak berkeliaran kayak mobil antri. Sehingga untuk mendirikan sholat harus mendirikan panggung dulu. Saat itu orang-orang langsung mengelilingi. Selesai sholat, kami ditanya mengapa mengangkat tangan, mengapa menyium bumi?”.

Jawabnya,”Kami bersedekap bertanda kami menyerahkan diri kepada satu-satunya Pencipta seluruh alam. Mencium bumi karena disinilah kita hidup. Tumbuhan dan hewan, yang mana makanan kita berasal dari mereka juga tumbuh di atas bumi”

Dakwah seperti ini yang dia gunakan. Mengajarkan kebersihan, dialog dengan apa yang mereka pahami, pergi ke hutan rimba, dan membuka informasi. Dengan dakwah yang sudah dijalankannya selama 19 tahun ini, banyak orang yang masuk Islam di sana. Tercatat 45% warga asli memeluk agama Islam. Jika ditambah dengan para pendatang, maka pemeluk Islam sebanyak 65% dari seluruh manusia yang ada di pulau burung tersebut.

Di setiap daerah yang dikunjungi, Ust.Fadlan selalu bersikap santun. Shalat di tengah-tengah komunitas `asing’ tak pernah ia tinggalkan. Perlahan-lahan jejaknya diikuti oleh masyarakat setempat. `’Ketika menyaksikan mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, saya tidak kuat. Air mata menetes,” ucapnya.

==

Dikisahkan, Ust Fadlan pernah berdakwah sendirian untuk menuju suatu perkampungan dengan waktu tempuh tercepat 3 bulan berjalan kaki. Dan Subhanallah hal tersebut tidak pernah menyurutkan hatinya untuk terus berdakwah, jika ada aral melintang dia selalu kembalikan kepada Allah SWT, dan dia selalu ingat bagaimana dulu Rasulullah SAW berdakwah dengan jarak ribuan kilo dan di padang tandus.

Ust Fadlan juga mengisahkan cerita ada seorang da’i dari Surabaya ingin ikut berdakwah dengannya di tanah Papua, dan diajaklah dia. Awalnya da’i tersebut tidak menyangka akan mendapatkan perjalanan yang sangat berat di tanah Papua. Da’i bersama dengan Ust. Fadlan harus menempuh perjalanan selama 12 hari berjalan kaki untuk menembus daerah yang akan di kunjungi. Pada hari ke-10 da’i dari Surabaya sudah merasakan kelelahan sehingga dia marah-marah, Ust. Fadlan pun bilang, “Jika anda ingin kembali silahkan anda kembali sendiri, saya akan tetap meneruskan perjalanan ini, dan anda bukanlah umat Rasulullah SAW, karena anda hanya bisa mengeluh, anda tidak ingat betapa beratnya perjuangan Rasulullah SAW waktu pertama kali berdakwah?”. Setelah itu Ust. Fadlan tetap melanjutkan perjalanannya dan da’i tersebut dengan wajah menyesal mengikutinya.

setelah tiga bulan menetap di daerah tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk Islam, Ust. Fadlan mengatakan kepada da’i dari Surabaya bahwa ini karena da’i tersebut mempunyai niat yang salah sewaktu memulai perjalanan tersebut. Da’i tersebut merasa sangat bersalah sekali, dan dia berniat untuk memperbaikinya, dan Ust. Fadlan mengusulkan agar da’i tersebut untuk menikahi salah satu wanita yang ada di daerah tersebut. Da’i tersebut meminta waktu untuk shalat istikarah, setelah 7 hari beristikarah, dia memberi jawaban bahwa dia mendapatkan petunjuk dengan cahaya putih, Ust. Fadlan menyimpulkan bahwa itu artinya da’i tersebut memang harus menikah dengan wanita dari daerah tersebut. Maka di bawalah salah seorang wanita dari penduduk setempat untuk di ajak ke pulau Jawa, dan di tanah Jawa dia diajarkan semua tentang agama Islam, dan akhirnya mereka menikah di tanah Jawa.

==

Dikisahkan pula,pada suatu waktu Ust. Fadlan menceritakan tatkala ia bersama 20 orang berniat ingin mengunjungi daerah yang masyarakatnya masih asing dengan orang luar, dia mengatakan bahwa jika mereka kesana maka kemungkinan mereka akan langsung berhadapan dengan panah-panah beracun, maka Ust. Fadlan menanyakan apakah mereka siap untuk mati syahid, dalam menghadapi hal-hal semacam itu. Ternyata hanya 6 orang yang bersedia untuk mati syahid dan berani mendampingi ust. Fadlan ke daerah tersebut. Setelah mendekati daerah tersebut, mereka melihat masyarakat disana sudah siap menghadang mereka dengan senjata-senjata tradisional mereka.

Selanjutnya di tengah perjalanan Ust. Fadlan menanyakan kembali kesediaannya dari 6 orang tersebut, apakah mereka benar-benar siap untuk mati syahid, dan mereka semua menyatakan siap. Sebelum mereka melangkah, Ust. Fadlan memberikan satu pesan, yaitu jika, Ust. Fadlan terkena panah dan sudah tidak dapat berdiri, ke-6 orang tersebut harus lari menyelamatkan diri. Setelah ada kesepakatan, mereka pun melangkah dengan langkah pasti. Dan masyarakat tersebut pun menyambut mereka dengan panah-panah beracun yang di lepaskan, hingga ust. Fadlan terkena panah di beberapa bagian badannya, dan akhirnya jatuh tersungkur, dan ust. Fadlan tetap berusaha untuk berdiri dan terus melangkah walaupun darah terus mengalir dari tubuhnya, sedangkan ke-6 orang tadi melihat ust. Fadlan telah tersungkur, dan ingat pesannya, maka mereka pun melarikan diri. Dan melihat keadaan ust. Fadlan yang masih berusaha untuk berdiri, ketua adat daerah tersebut pun meminta agar masyarakatnya menghentikan panah-panah beracun. Dia menghampiri ust. Fadlan dan membantunya, Ust. Fadlan hanya ingin kembali ke tempatnya agar bisa di obati luka-lukanya, dan ketua adat tersebut mengatakan bahwa dia akan ikut mengantarkannya. Ust. Fadlan mengira bahwa ketua adat akan menghantarkan dirinya sampai batas desa saja, tetapi ternyata ketua adat menghantarkannya hingga sampai ke rumahnya, sepanjang perjalanan ketua adat tersebut mengobati luka-luka Ust. Fadlan dengan bahan-bahan yang ada dari sekitar dan ketua adat tersebut bahkan berkeras untuk mengikuti ke rumah sakit yang ada di Makassar. Setelah pulang ketua adat tersebut akhirnya mengikrarkan diri masuk Islam.

==

Ust.Fadlan pernah bercerita pula karena dia berkulit gelap, sewaktu dia memberi salam kepada saudaranya yang muslim, saudara-saudara yang muslim belum tahu kalo dia muslim tidak pernah menjawab salam-salam beliau, padahal Rasulullah mempunyai seorang sahabat yang selalu mengumandangkan adzan yang mantan budak dan berkukit, dialah Bilal dan Islam sendiri tidak pernah membedakan warna kulit seseorang, bahkan dalam Al-Qur’an manusia di ciptakan berbeda untuk saling mengenal.

Dakwahnya yang beliau lakukan tidak pernah berhenti, selalu berlanjut baik dengan program pemberdayaan ekonomi. Bekerja sama dengan Baitul Maal Mu’amalat (BMM), selain itu, Fadlan mendirikan lembaga sosial dakwah dan pembinaan SDM kawasan Timur Indonesia Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN). Dengan lembaga tersebut, orang-orang Irian diajak membuat produk seperti buah merah, ikan asin, dan manisan pala bermerk BMM AFKN. Pasarannya sudah masuk di Jakarta, termasuk Carefour. Selain itu, Sagu irian juga diekspor ke India.

SDM pun juga tidak ketinggalan. Anak-anak muda dalam bimbingan lembaga tersebut sudah tersebar di seluruh indonesia demi menuntut ilmu guna memajukan kehidupan di tempat dimana matahari terbit pertama kali memberikan cahayanya (Nu Waar) untuk Indonesia.

Selain itu pula, beliau bersama dengan Badan Wakaf Qur’an beberapa tahun lalu pernah mengusahakan agar masyarakat di Papua mengupayakan mendapatkan Al-Qur’an untuk di tadaburi, dan juga pembangunan tenaga Listrik Mikro Hidro (sumber air yang berlimpah) agar dapat memberdayakan masyarakat disana jika listrik telah di pasang.

Itulah beberapa sekelumit kisah perjuangan seorang da’i yang tidak kenal lelah untuk mengenalkan masyarakat di sekitarnya untuk mengenal sang Pencipta. Subhanallah!!

————————

Yang ini saya kutip dari website AFKN yang merupakan wawancara dengan suara HIdayatullah

Cita-citanya sungguh mulia, yaitu mendengar suara azan Shubuh berkumandang di seantero tanah Papua alias Irian, sehingga mampu “membangunkan” kaum Muslimin di Indonesia. Berbagai upaya pun dilakukan.

Hasilnya: 900-an masjid telah tersebar di Papua, ribuan orang dimandikan secara massal, diajari cara berpakaian, dikhitan, kemudian dituntun mengucapkan kalimah syahadat.

Saat ini 1.400 anak asli Papua telah disekolahkan gratis. Awalnya dimasukkan ke berbagai pesantren di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, kemudian menempuh jenjang perguruan tinggi, dalam dan luar negeri. Ratusan di antaranya tengah menempuh jenjang S-1, dan sudah ada 29 orang yang menggondol gelar S-2.

Data di atas hanyalah sedikit dari prestasi yang diukir para da’i Yayasan Al-Fatih Kaafah Nusantara (AFKN). Lembaga ini dikomandani pria gagah bernama M Zaaf Fadzlan Rabbani Al-Garamatan (40).

Data di atas hanyalah sedikit dari prestasi yang diukir para da’i Yayasan Al-Fatih Kaafah Nusantara (AFKN). Lembaga ini dikomandani pria gagah bernama M Zaaf Fadzlan Rabbani Al-Garamatan (40).

Dakwah di Papua memang istimewa. Tantangan alam begitu berat. Kultur dan kebiasaan masyarakat pun tak mudah ditaklukkan. Biayanya tinggi. Belum lagi harus berpacu dengan misionaris, yang selama ini sukses mencitrakan Papua identik dengan Kristen.

“Namun berdakwah di wilayah seperti itu luaarr biasa nikmatnya!” ujar Fadzlan dengan mata berbinar.

Nikmat, sehingga pria kelahiran Fak-Fak ini senantiasa menyunggingkan senyum meski harus jalan kaki berhari-hari demi menemui warga binaan. Bahkan tetap tersenyum mendakwahi seseorang yang telah tega memanahnya sehingga siku tangan kanannya berdarah-darah.

Perbincangan berlangsung di markas AFKN di Bekasi (Jawa Barat), suatu sore ketika hujan rintik-rintik, ditemani manisan pala, sagu, teh manis, serta kerupuk ubi suku abun Sorong yang rasanya benar-benar khas.

Apa kabar Ustadz?

Alhamdulillah. Maaf Anda terpaksa menunggu. Saya baru pulang dari (Pelabuhan) Tanjung Priok, mengirim sabun, sarung, mukena, Al-Qur`an, sajadah, dan pakaian ke Papua. Kemudian ke Departemen Agama, mengurus pengangkatan tenaga penyuluh agama.

Seberapa sering pengiriman bantuan semacam itu dilakukan?

Paling tidak seminggu dua kali. Setahun kami kirim sekitar 29 ton pakaian layak pakai. Orang-orang PT Pelni sampai komentar, “Pak Fadzlan ini kerjaannya ngurusin pakaian bekas melulu.” Biar saja, memang kenyataannya begitu.

Dakwah saya di berbagai majelis taklim di Jakarta, akhirnya ya urusan sabun dan pakaian. Saya bilang, “Daripada pakaian Anda dibuang-buang, kirimlah kepada saya.”

Barang kiriman itu bertruk-truk. Bahkan AFKN (atas kerjasama dengan instansi pemerintah) pernah mengirim belasan sepeda motor untuk keperluan operasional para da’i. Pelabuhan pun kami buat sibuk. He…he…

Mengapa barang-barang semacam itu penting bagi kaum Muslimin Papua?

Sebelum berdakwah, kami mempelajari medan dulu untuk mengetahui kebutuhan masyarakat. Apa maunya, akan dibawa ke mana, lalu kami tawarkan konsep. Kalau tidak ada listrik, kami bikin listrik. Tidak ada air bersih, bikin sarana air bersih. Perlu pakaian, kami drop dari Jakarta, lengkap dengan mesin jahitnya sehingga mereka bisa berkarya.

Seperti apa gambaran kondisi masyarakat binaan Anda sehingga memerlukan hal-hal di atas?

Telepon mereka adalah nyamuk, listriknya cahaya bulan dan matahari. Mandi dan pakaian pun baru dikenalnya. Tentang kondisi alam, semua orang tahulah bagaimana Irian.

Kami lalu peragakan Islam, perilakunya, aturannya. Setelah mereka lihat, kemudian bertanya-tanya. Misalnya ketika kami shalat, mereka perhatikan mulai dari takbiratul-ihram, ruku’, sujud, sampai salam. Kami jelaskan dengan bahasa sederhana.

Penjelasan seperti apa?

Mereka bertanya, “Kenapa Anda angkat tangan dan mulutnya bicara-bicara?” Saya jelaskan bahwa bapak dan ibu kami beragama Islam. Kami diperintah oleh Tuhan kami, Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam satu hari lima kali menghadap-Nya. Ketika mengangkat tangan itu, kami menyebut Allah Maha Besar. Dia yang pantas dibesarkan, sementara kami ini nggak ada maknanya.

Mereka bertanya lagi, “Kenapa membungkukkan badan?” Supaya menyaksikan bahwa Allah menyediakan kekayaan alam di bumi. Ada batu, pohon, sayur, ikan. Ketika mengambil kekayaan alam, manusia tidak boleh sombong dan merusak, maka kami menunduk.

“Kenapa mencium papan?” Di pedalaman, kami membuat tempat shalat di panggung, karena banyak babi berseliweran seperti mobil di Jakarta. Kami sujud, agar bisa menangis karena suatu hari nanti tubuh ini akan kembali dilebur dengan tanah.

“Mengapa menengok ke kanan dan kiri kemudian mulutnya bicara-bicara?” Itu salam. Setelah berkomunikasi dengan Allah, kami harus menengok ke kanan dan kiri, mungkin ada orang yang belum berpakaian, maka kami ajari berpakaian. Jika ada yang belum mandi, tugas kami mengajari mandi. Bila belum ada yang pintar, tugas kami mengajar. Tumbuhlah hubungan dengan Allah, kemudian hubungan dengan manusia di atas bumi. Terciptalah kedamaian dan keamanan.

Alhamdulillah, penjelasan semacam itu mampu mengetuk hati orang yang belum mengenal Islam. Mereka lantas bilang, “Kalau begitu, kami masuk Islam.” Ada yang bersyahadat sendiri, banyak pula yang massal.

Ketika menjumpai masyarakat yang belum berpakaian, apa yang Anda lakukan?

Pakaian memang proses awal yang agak susah. Ini sasaran dakwah yang benar-benar pemula.

Awalnya kami kenalkan celana kolor, mereka tertawa. Namun ketika mereka memakainya dan lama-lama enjoy, malah akhirnya malu melepasnya. Kami bawakan cermin. Ketika masih telanjang, mereka takut melihat bayangannya sendiri. Setelah memakai celana dan baju, mereka merasakan perubahan dalam dirinya. Ternyata lebih bagus.

Bagaimana Anda menjelaskan fungsi pakaian?

Kami kisahkan tentang Nabi Adam ‘alaihissalaam. Barangkali pakaian koteka itu seperti Adam dan Hawa yang telanjang ketika diusir dari surga. Tapi setelah ada ilmu, maka tidak boleh lagi berpakaian seperti itu. Manusia kan punya akal, bukan binatang. Lalu kami perkenalkan pakaian, cara memakai, dan semacamnya. Kini kami kewalahan memenuhi permintaan pakaian. Alhamdulillah.

Bagaimana mengajari kebiasaan mandi?

Memang mereka mandinya dengan melulur minyak babi di tubuh. Kenapa begitu? Katanya untuk menghindari nyamuk dan udara dingin.

Kami ajari mereka mandi dengan air dan sabun. Tak jarang harus mandi massal orang sekampung. Ibu-ibu keramas memakai sampo.

Pernah ada seorang kepala suku yang begitu menikmati sabun mandi. Tanpa dibilas, dia langsung keliling kampung karena merasa amat senang dengan bau wangi sabun di tubuhnya.

Kami lakukan dakwah tentang kebersihan itu dengan bertahap. Akhirnya mereka menyadari, ini anak-anak Islam ternyata lebih meyakinkan dibanding orang-orang bule yang biasa mendatanginya dengan naik pesawat.

Apa yang Anda jelaskan tentang makna kebersihan?

Misalnya tentang wudhu, kami jelaskan bahwa hidup ini harus bersih. Sebelum menghadap-Nya, kami diperintah untuk bersih dulu. Dengan demikian, ketika ber-takbiratul-ihram, Allah akan mengatakan, “Tangan kamu sudah dicuci, sudah bersih.” Mulut yang mengucap “Allahu Akbar,” juga bersih. Begitu juga bagian tubuh lainnya. Nah, kalau bapak-bapak dan ibu-ibu sudah bersih, mari tegakkan harumnya Islam di tengah-tengah kita.

Bagaimana menjelaskan aspek kebersihan dan pakaian, khususnya untuk kaum wanita?

Ini diajarkan oleh akhwat-akhwat binaan kami, yang tak kalah semangatnya di “medan tempur”, terutama bila kondisi geografisnya tidak terlampau sulit. Bahkan kami pernah dakwah dengan salon.

Maksudnya?

Ceritanya bermula dari akhwat binaan kami yang jadi karyawan salon di Mojokerto (Jawa Timur). Dia jadi familier dengan masalah kecantikan. Rambutnya di-rebounding sehingga lurus, tubuhnya (maaf) bersih.

Suatu saat dia pulang kampung ke Enarotali, Paniai, dan ceramah. Ibu-ibu kagum. Ini anak jadi cantik, lancar mengaji, bisa ceramah, tutup auratnya pake mukena. Dia katakan, perubahan fisik dan keilmuannya itu karena ajaran Islam. Akhirnya ibu-ibu bilang, “Kami mau masuk Islam tapi pingin cantik seperti kamu.”

Kami kemudian menyewa perlengkapan salon dan dibawa ke kampung itu, selama 3 bulan. Alhamdulillah, banyak yang akhirnya bersyahadat.

Bagaimana mengajarkan pemahaman tauhid kepada penganut kepercayaan animisme-dinamisme seperti di Papua?

Aspek perilaku sangat menentukan. Ada orang yang takut dengan pohon besar. Kami tunjukkan bahwa di pohon tidak ada yang perlu ditakuti. Ada komunitas yang suka berperang, maka kami jelaskan agar tidak melakukannya lagi, apalagi jika sudah sama-sama bersyahadat. Yang suka mencuri, kami larang karena itu merugikan.

Kami jelaskan hal itu mulai dari tokoh masyarakatnya, semisal kepala suku. Dia yang kemudian akan mengkampanyekan ke masyarakatnya. Bahkan kalau di situ ada misionaris, mereka sendiri yang mengusirnya. Pernah ada sekelompok masyarakat yang memasang kayu-kayu di lapangan terbang perintis agar misionaris tak bisa mendarat. Kami tidak menyuruhnya, tapi mereka sendiri yang berinisiatif melakukannya.

Pernah ada bentrok?

Banyak. Tombak, panah, diusir, adalah hal yang biasa menimpa kami. Namun saya sampaikan kepada teman-teman agar tombak itu dijadikan shiraathal-mustaqiim. Kalau dipenjara, jadikan itu sebagai rumah surga awal. Jika difitnah, itu adalah untaian hidup dan puisi baru kita. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dilempari, dicaci-maki, difitnah, tapi beliau terus menebarkan senyum. Subhanallah!

Anda sendiri pernah mengalami tindak kekerasan?

Pernah kena panah, sampai ini patah (sambil memperlihatkan bekas tusukan panah di lengan kanannya), bengkok sampai sekarang. Tapi bagi kami, tidak perlu bicara tantangan. Seorang yang mau maju, bicara kebajikan, pasti ada tantangan. Itu hal biasa bagi seorang da’i.

Bagaimana kejadiannya?

Sekitar tahun 1994, antara wilayah Mapenduma dan Timika. Saya bersama delapan orang da’i sedang survei ke sebuah kampung untuk dijadikan binaan. Tiba-tiba tangan saya kena panah.

Saya tidak tahu persis penyebabnya. Barangkali karena pemanah itu belum memahami apa yang kami lakukan. Bisa pula orang-orang itu diprovokasi pemahaman yang keliru. Atau mungkin kami hanya salah sasaran konflik aparat dan kelompok yang menyebut dirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Apa yang kemudian Anda lakukan?

Anak panah itu dicabut, lalu kami bakar pisau kemudian ditusukkan ke luka itu agar racunnya tidak bekerja. Kemudian saya ke dokter.

Dokter dimana?

Di Timika. Jalan kaki empat hari. Alhamdulillah lukanya tidak terus mengeluarkan darah. Alhamdulillah pula orang yang memanah itu akhirnya masuk Islam.

Bagaimana bisa?

Nabi itu, diapain saja oleh lawan yang memang belum faham, tetap tersenyum. Allah pun berfirman, “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

Apalagi jika hal itu dilakukan ketika dia sakit, atau saat susah. Saat itulah insya Allah akan gugur naluri kebenciannya. Itu pula yang saya lakukan terhadap orang itu.

Menurut pengamatan Anda, apakah orang yang kemudian memeluk Islam berubah menjadi lebih baik?

Luar biasa. Setiap ke mushalla atau masjid, mereka mengaku merasa tenang. Barangkali Islamnya justru lebih baik dibanding saya. Mereka itu sangat jujur. Perang antar suku pun akhirnya berhenti.

Ada seorang kepala suku yang menyatakan masuk Islam, kemudian dianiaya sekelompok orang, ditindih kayu, ditelanjangi, namun tetap teguh memegang syahadat. Luar biasa. Saya menangis bila menjumpai hal seperti ini.

Pernahkah punya pengalaman mengesankan terkait dengan pensyahadatan massal, misalnya?

Pernah di kawasan Sorong. Ketika banyak orang bersyahadat, pohon di sekelilingnya seperti merunduk. Padahal tak ada angin tak ada hujan. Kawanan rusa liar pun tiba-tiba tenang, tidak bergerak. Wallahu a’lam, barangkali mereka selama ini belum pernah mendengar kalimat suci itu dari mulut manusia, meski semua makhluk sebenarnya selalu bertasbih menyebut asma-Nya.

Menilik apa yang Anda lakukan, tampaknya memerlukan waktu lama untuk berdakwah di suatu lokasi ya?

Paling tidak lima tahun di suatu tempat. Ada da’i yang musti stand by di sana. Saya sendiri jaga markas di Jakarta, namun sering mengunjungi mereka di berbagai daerah. Sekali ke Papua, saya bisa menghabiskan waktu 9 bulan. Kemudian ke Jakarta untuk bikin proposal, mendapat bantuan, lalu ke Papua lagi.

Selama 9 bulan itu, apa saja yang Anda lakukan?

Keliling ke desa-desa binaan. Safari ini berfungsi untuk mendata kebutuhan masyarakat dan mengevaluasi perkembangan dakwah.

Apakah da’i yang stand by itu kader binaan AFKN?

Ya, tapi kami juga menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan Hidayatullah. Alhamdulillah, sebagian da’i itu kini sudah tercatat di Departemen Agama sebagai penyuluh, sehingga punya gaji.

Semua da’i itu asli orang Papua?

Kebanyakan asli Papua, namun tak sedikit pula yang dari luar. Keduanya kami “kawinkan”, saling melengkapi.

Da’i asli Papua lebih bagus pendekatan sosial-kemasyarakatannya. Itulah sebabnya mereka bertugas “membuka lahan” dakwah. Banyak warga yang kemudian bersyahadat.

Sementara da’i non-Papua biasanya unggul dalam hal ilmu agama dan keterampilan. Mereka ini bertugas meneruskan apa yang telah dirintis da’i asli Papua.

Seberapa banyak da’i dari luar Papua yang aktif bersama AFKN?

Alhamdulillah banyak. Ada yang dari Garut, Tasikmalaya (Jawa Barat), Lamongan, Gresik (Jawa Timur), Makassar, dan lain-lain. Para da’i ini punya keterampilan lain sehingga bisa mengembangkan berbagai potensi yang ada di Papua.

Tidak mengalami kendala bahasa?

Memakai bahasa Indonesia saja, insya Allah masyarakat bisa mengerti. Memang akan lebih bagus kalau bisa bahasa setempat. Tapi harap tahu, di Papua ada 234 bahasa.

Anda sendiri bisa berapa bahasa?

Alhamdulillah, Allah kasih anugerah saya bisa berkomunikasi dalam 49 bahasa.

Subhanallah, banyak sekali, misalnya bahasa apa?

Bahasa Kokoda, Kaimana, Wamena, Asmat, Babo, Irarutu, dan sebagainya. (jejakrina.wordpress.com)