Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Akhirnya Kutemukan Cintaku (2)

Episode Kedua
Syawal : Tawaran awal itu datang
Syawal 1432 H kemarin adalah liburan panjang. Sebulan lebih pasalnya. Liburan selama itu tidak pernah aku dapatkan ketika kuliah di Solo. Sebenarnya aku sangat menikmati liburan kali itu; bisa berkumpul dan bercengkrama lama dengan keluarga yang lama aku tinggalkan. Karena setelah lulus dari tsanawi, hidupku lebih banyak habis di ma’had. Maka aku sangat bahagia bisa berkumpul dengan keluarga sebegitu lamanya.
Pada saat menikmati liburan itulah, akhi Abdul Halim berkirim sms ke hp-ku. Isinya, dia menawarkan seorang akhwat. Akhwat itu langsung dari ustadz senior sana atas permintaan dari abinya yang meminta dicarikan calon pendamping untuk putrinya tercinta. Untuk sejenak, aku berpikir dan merenung, sama sekali aku tidak memiliki alasan untuk menolaknya. Entahlah, semenjak tawaran itu datang, serasa ada kecocokan di hati, sekalipun aku sama sekali tidak pernah bertemu, dan belum tahu bagaimana kekurangan-kelebihannya, apalagi hal-hal lainnya seperti nama dan juga wajahnya. Aku hanya tahu  abinya; beliau adalah teman seangkatan dengan kami yang masuk sekolah non-Reguler; sekolah yang hanya masuk dua kali dalam seminggu. Tetapi kemudian terlintas dua pertanyaan yang aku buat-buat sendiri. Padahal hati berbicara bahwa sebenarnya aku tidak memiliki alasan untuk menolaknya. Tapi tetap saja aku putuskan untuk membalas sms akhi Abdul Halim, “afwan ana tidak bisa”
“alasan antum apa?”
Aku utarakan dua alasan yang, sekali lagi jujur kuakui, aku buat-buat sendiri; pertama, aku tidak ingin terikat di satu tempat karena mengingat aku bisa saja dipindahkan olehmas’ul-ku, sewaktu-waktu, dan kedua, aku mengaca diri; aku merasa tidak pantas untuk mendampingi dan membersamainya. Tidak pantas. Tidak layak. Entah ini was-was syetan yang membayang-bayangi otakku dengan ketakutan-ketakutan menikah dengan akhwat yang ditawarkan tersebut, atau memang itu hanya sebuah apologi saja. Yang jelas, setelah kurenungkan kembali, kemungkinan itu adalah was-was syetan. Ah, sudahlah, pikirku saat itu, bila memang berjodoh nanti juga datang lagi…,
Setelah itu, aku melakukan ikhtiar dengan mendekatkan diri kepada Allah, dan banyak berdoa. Doa yang sering aku ucapkan adalah doa kreasi sendiri, “Rabbi hab lî zaujatan shâlihatan tu’înunî ‘alâ dîni wa dunyâya wa âkhiratî, ya Rabb, kurniakanlah istri yang shalihah kepada hamba; istri yang menolong hamba dalam dien, dunia dan akhirat hamba.” Entah, tiba-tiba aku diberi ilham untuk berdoa dengan doa ini, dan dimudahkan dalam melantunkannya. Bahkan hatiku benar-benar hadir ketika mengucapkannya. Khusyuk. Sering aku bergumam, seandainya doa-doaku bisa khusyuk sebagaimana doaku meminta istri shalihah kepada-Nya….., ah, alangkah indahnya….,
Doa untuk orang tua, doa ini -“Rabbi hab lî zaujatan shâlihatan tu’înunî ‘alâ dîni wa dunyâya wa âkhiratî, ya Rabb, kurniakanlah istri yang shalihah kepada hamba; istri yang menolong hamba dalam dien, dunia dan akhirat hamba.”–, dan juga doa berupa istighfar untuk saudara seiman (al Hasyr : 10) serta doa-doa yang lain (Ali Imran : 8, al A’raf : 23 dan al Baqarah : 201) adalah doa-doa yang rutin aku panjatkan di antara dua adzan; adzan dan iqamat. Itulah salah satu saat dimana doa diijabahi oleh Allah Ta’ala. Hingga pada akhirnya….,

Tawaran itu [kembali] Menghampiri, “Kalau bukan kita siapa lagi?”
Aku terlupa, dan tidak mencatat tanggal hari itu. Yang jelas, hari itu adalah hari yang sangat mulia dan penuh dengan barakah; hari jum’at. Hari itu pula Akhi Abdul Halim berkirim sms,“ba’da jum’atan nanti telpon ana. Ada kabar gembira untuk antum.”
Akhirnya, selesai shalat jum’at, ku-challing dia. Dari seberang hp, dia bercerita banyak hal. Termasuk pintanya untuk mempertimbangkan tawarannya pada Syawal lalu. Selanjutnya, aku meminta waktu untuk mempertimbangkan dan beristikharah terlebih dahulu….,
Entah kenapa, dalam istikharahku, aku mengharapkan akhwat itu, “Allâhumma innî astakhîruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka bi qudratika, fa innaka taqdiru wa lâ aqdir, wa ta’lamu wa lâ a’lam wa anta ‘allamul-ghuyub, allâhumma in kânat bintu shâimin khairan lî fî dînî wa ma’âsyî wa âqibati amri, faqdurhâli wa yassirhâ lî tsumma bârik lanâ fih”  selanjutnya kubaca arti bebasnya, “Ya Allah, apabila bintu shâimin baik bagi dien, dunia dan akhiratku, maka tautkanlah hatinya dengan hatiku, dekatkanlah, mudahkanlah kemudian berkahilah ya Rabb…..Engkau Maha Tahu bahwa hamba ingin melaksanakan perintah-Mu dan meneladani sunah Nabi-Mu, maka perkenankanlah pinta hamba-Mu ini…”
Jelas, aku sangat mengharapkannya, dan aku sengaja mencukupkan doaku hanya sampai di kata-kata ini, “allâhumma in kânat bintu shâimin khairan lî fî dînî wa ma’âsyî wa âqibati amri, faqdurhâli wa yassirhâ lî tsumma bârik lanâ fih” karena aku benar-benar menginginkan dialah yang menjadi pendamping hidupku, menjadi menantu bagi orang tuaku, kakak bagi adik-adikku, adik bagi kakakku, dan menjadi ibu bagi anak-anakku kelak….., aku benar-benar mantap dengan akhwat yang kusebut dalam doaku.
Maka, ketika akhi Abdul Halim berkirim sms pada 28 Oktober 2011 pukul 10:40, “Akh…gimana perkembangannya yang kemarin? Ana harap antum pertimbangkan, ana tau betul siapa beliau, walinya insyaAllah ndak akan mengekang.” Aku tersenyum, dan menjawab akan melanjutkan ke proses yang selanjutnya.
Yang lebih membuatku tersenyum adalah bunyi dari kekata selanjutnya dalam sms itu,“kalau bukan kita, siapa lagi akh yang mendampingi putri ustadz-ustadz kita?” ^_^ ha hai, gerakan selamatkan putri ustadz-ustadz; D
Terlepas dari maksud akhi Abdul Halim yang sangat berkeinginan sekali agar aku bisa menemaninya dalam berdakwah di tempat tugasnya, aku salut dengan usahanya untuk membantuku mempertemukan dengan tulang rusukku. Aku bener-bener salut.

6 November 2011, “Kuserahkan Biodataku”
Hari Sabtu, 6 November 2011, aku memberitahukan akhi Abdul Halim bahwa aku berencana akan pergi ke Solo. Berangkat siang, dan sampai Solo sore hari. Transitku sudah bisa ditebak; ada di masjid al Aqsha-Purbayan. Selain memberitahukan hal tersebut, aku juga memintanya untuk membawa sisa penjualan buku Shifatus Shafwah yang kutitipkan kepadanya saat I’tikaf dulu. Akhirnya kami sepakat bertemu di masjid al Aqsha.
Malam itu sebenarnya adalah malam lebaran Iedul Adha, dan akhi Abdul Halim meluangkan waktu untuk bertemu, padahal dia, sebagaimana pengakuannya, besok akan menjadi khathib, dan sama sekali belum mempersiapkan teks khutbahnya. Heran? Tidak karena aku yakin dengan kemampuanya dalam berorasi.
Setelah berbincang sini-sana, aku menyerahkan biodataku, dan berpesan; ini biodata saya, silahkan dibawa dulu, dan saya akan menanti jawabannya.
Bagiku, untuk mendapatkan akhwat ini, aku lebih aman menyerahkan bioadataku terlebih dahulu daripada saling tukar biodata dalam waktu bersamaan. Aku bergumam, “Kalau dia menerima, saya akan sangat bahagia, tetapi kalau dia menolak, saya akan menerima dengan lapang dada, dan tidak akan pernah menceritakan bahwa saya pernah ‘menembak’nya.” Artinya, kalau seandainya ditolak, aku tidak sempat tahu siapa dia sebenarnya, dan tidak juga tahu bagaimana wajahnya agar aku tidak merasa ‘menzhalimi’.  Biarlah waktu yang akan menjawabnya….,
Biodataku, sebagaimana biodata ikhwan yang lainnya; nama, tanggal-lahir, pengalaman intelektual, kondisi keluarga, kekurangan-kelebihan, dan juga kriteria pilihan. Ada empat kekurangan pokok yang aku cantumkan dalam biodataku ini; kekurangan-kekurangan yang seharusnya membuat akhwat, siapapun dia, yang membaca biodataku untuk berpikir ratusan kali. Biarlah yang dia tahu adalah kekurangan-kekuranganku, bila di kemudian hari dia mendapati ada kelebihan yang aku punya, itu adalah kadoku untuknya; yang aku sampaikan lewat perbuatan, tidak via tulisan.
Tak lupa pula, aku tuliskan pesan penting dalam biodataku. Pesan penting itu berbunyi,
Kalau bapak-bapak, ibu-ibu, berniat hendak mengambil salah seorang dari anak saya sebagai menantu” pesan Ustadz Abdullah M. Amin kepada segenap tamu undangan ketika acara wisuda kami pada 5 Juli 2009 lalu,“maka hendaknya berpikir 10 kali karena ijazah mereka tidak laku.”  Kalau menurut saya mah, WAJIB berpikir 1000 kali.
Pesan ustadz Abdullah M. Amin ini, sebagaimana azzamku sejak lulus, tidak akan pernah lupa aku sampaikan  dalam bioadataku, kepada siapapun akhwat yang hendak aku‘tembak’. [bersambung]