Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Akhirnya Kutemukan Cintaku (1)

Akhirnya Kutemukan Cintaku…., [nyata]

 Ajib, ternyata jarak antara aku memegang biodata dia
dan acara khitbah hanya 9 hari saja.

Assalâmu’alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh,
Bismillah. Dengan kerelaan hati dan kesadaran diri, aku bersaksi bahwa Tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah Ta’ala; bagi-Nya segala puja-puji sebagaimana Dia dan Rasul-Nya memuji-Nya dengan pujian yang layak untuk-Nya. Aku juga bersaksi bahwa Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi dan Rasul-Nya; semoga Allah berkenan memberi kesempatan kepada kita untuk mendapat syafaat Rasul Mulia pada hari kiamat nanti dengan ridha dan izin-Nya. Amma ba’du :
Kisah di dalam tulisan singkat ini adalah kisah nyata penulis. Harapannya, ada banyak manfaat yang bisa didapat oleh para pembaca, terutama oleh para bujangga yang sudah benar niatnya, dan sudah lama mencari-cari tulang rusuknya, tetapi sampai saat ini, belum juga menemukan siapa sebenarnya dia?.  Ya, tulisan ini penulis dedikasikan kepada mereka. Dan juga para pembaca lainnya, sebagai ‘kado cinta’ dari admin www.oaseimani.com yang sudah lama, sekira 3 bulanan, tidak menulis catatan-catatan. Semoga catatan kali ini bisa mengobati. Silahkan menikmati.
Episode Pertama
“Jodoh itu memang di tangan Allah”…,
Dulu, kekata itu sering kudengar dari penyampai khutbah walimatul urs pada awal khutbahnya. Berkali-kali malah, sebanyak aku menghadiri acara walimahan. Saat mendengarnya, aku hanya menganggapnya sebagai ungkapan-ungkapan biasa lainnya. Bukan tidak meyakini, tetapi aku sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap kekata itu. Tetapi sekarang, setelah mengalami sendiri, aku bener-bener yakin seyakin-yakinnya, dan mengatakan kalimat yang sama, “Jodoh itu memang di tangan Allah.” Semoga kisah berikut ini bermanfaat bagi para pembaca, lalu menyimpulkan hal yang sama, serta memuji skenario terindah-Nya; karena Dia hanya akan memberikan orang yang tepat pada saat dan waktu yang tepat. Sehingga pertemuan itu begitu indah, penuh barakah, hingga ke Jannah -insyaAllah.
Kutulis catatan ini hanya untuk berbagi pengalaman, dan menambah pengetahuan para pembaca, terutama para bujangga, ingatlah pesanku, “Ketika Allah beberapa kali mempertemukanmu dengan orang yang salah, padahal niatmu sudah lurus, maka pada hakikatnya Allah sedang menyiapkan orang terbaik untukmu, pada waktu dan saat yang tepat, maka bersabarlah…” Allah.., ya hanya Allah lah yang lebih tahu, dan lebih faham siapakah orang yang pantas dan layak serta sesuai dengan kepribadian kita. Penundaan itu sebenarnya ditujukan agar kita lebih dewasa, agar kita lebih menshalihkan diri kita, agar kita melihat diri kita; kekurangan-kelebihannya, lalu bermuhasabah dan memperbaiki diri dari waktu ke waktu. Pada saat itulah, biasanya –sebagaimana yang penulis amati dari teman-teman seangkatan– para bujangga yang sudah siap dan ingin menikah akan khusyuk shalatnya, khusyuk doanya, dan begitu dekat dengan Rabbnya. Bila sudah begitu, Allah akan mempertemukan kita dengan orang terbaik dalam hidup kita, dan kita akan menyadari sesadar-sadarnya betapa mahalnya dipertemukan dengan tulang rusuk kita yang sudah lama kita nanti-nanti, dalam sujud-sujud malam yang panjang. Serta mengakui kelemahan diri kita betapa kita tidak kuasa dan sama sekali lemah tak berdaya dalam menentukan pilihan calon pasangan hidup kita kecuali semata karena inayah dan kemudahan dari-Nya. Demi Allah, jikalau tidak karena kemudahan dari-Nya, urusan kita tidak akan pernah dimudahkan. Sebaliknya, bila Allah berkehendak kemudahan, maka selalu saja ada jalan yang terkadang tidak terjangkau oleh kedangkalan akal kita sebagai manusia; dimudahkan semudah-mudahnya.
Catatan ini berkisah tentang pengalaman penulis dalam berikhtiar menjemput pendamping hidup. Ada keindahan dan keajaiban yang sangat menakjubkan! Bukan, bukan karena ingin pamer, atau ingin memuji diri sendiri, dan juga pasangan. Sama sekali bukan. Anggaplah ini hanya sebagai salah satu episode kehidupan manusia akhir zaman yang ingin tetap berusaha untuk melaksanakan perintah Allah, dan mengikuti jejak nabi-Nya, dengan cara yang disyariatkan oleh keduanya, semampunya. Maka, kami, setelah mengetahui bahwa niat awal sebelum-ketika-sedang-sesudah walimahan, dan masa-masa setelahnya akan menentukan barakah pernikahan, maka kami ingin mendapatkan limpahan barakah dalam setiap episode kehidupan yang menentukan kehidupan dunia-akhirat itu, nantinya.
Berawal dari I’tikaf
“Mâ syâ’Allâh kâna wa mâ lam yasya’ lam yakun, apa yang Allah kehendaki akan terjadi dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi.”
Kiranya, dari awal hingga akhir catatan, kaidah para ulama aqidah di atas sangat sesuai, bahkan kaidah ini akan berlaku selamanya, karena kita yakin sebenar-benar yakin bahwa tidak ada yang terjadi di atas muka bumi ini kecuali atas kehendak-Nya. Allah sudah menuliskan dan menetapkan takdir masing-masing makhluk-Nya dengan begitu indahnya. Terkadang hanya kita saja, –yang dangkal ilmunya-, yang belum bisa menelisik tabir hikmah dibalik semua skenario-Nya; mengapa kita tidak juga menemukan tulang rusuk kita? Mengapa seolah-olah Allah mempersulit kita melaksanakan sunah Nabi-Nya? dan pertanyaan-pertanyaan yang semisal. Sebenarnya pertanyaan itu wajar selama tidak dimaksudkan untuk menggugat takdir-Nya, dan pada akhirnya kita akan sadar diri kenapa Allah menunda pengabulan pinta kita. Karena memang hanya Allah saja yang lebih tahu dan lebih berilmu tentang kapan dan dengan siapa kita akan menikah….,
Langsung saja, aku tidak memungkiri bahwa kisah ini memang berawal dari I’tikaf. Pada saat itu, aku dan beberapa teman seangkatan berniat ingin I’tikaf di masjid yang ditakmiri oleh teman sendiri; di al Aqsha-Purbayan. Dari I’tikaf inilah, Allah mempertemukan aku dengan teman seangkatan yang kuanggap mampu membantu. Atau setidaknya memberikan solusi. Teman inilah yang kemudian berhasil mempertemukanku dengan istri tercinta. Aneh memang, pada awalnya aku sama sekali tidak menyangka bila akhirnya dia lah yang menjadi mak-comblang atau perantara yang menghubungkan aku dengan pendamping hidupku. Perkenalkan, namanya akhi Abdul Halim.
Awalnya, ketika mendekati akhir masa I’tikaf, aku mengajaknya berbicara empat mata, dari hati ke hati; tentang kegelisahanku sebagai seorang pemuda, dan niat untuk menggenapi nishfud dien; melaksanakan perintah Allah (“wa ankihu l-ayâma minkum wa-shshâlihîna min ‘ibâdikum wa imâ’ikum, in yakûnû fuqarâ’a yughnihimullâhu min fadhlih, wallâhu wâsi’un ‘alîm”), dan meneladani sunah Nabi (yâ ma’syara-sysyabâbi man-istathâ’a minkumu-lbâ’ah fa-lyatazawwaj). Aku utarakan juga usahaku mencari-cari siapa kiranya perempuan yang mau membersamai sisa hidupku; suka-dukanya, saling berbagi dan melengkapi serta mensinergikan kelebihan kami untuk menggapai keluarga sakinah-mawaddah wa rahmah. Tentu lewat ustadz. Tetapi hasilnya nihil; dari semua akhwat yang ditawarkan, tidak ada yang berjodoh. Ada akhwat kuliahan yang, ternyata setelah menunggu jawaban beberapa hari, akhwatnya menyatakan tidak siap, berdasarkan info yang aku dapat; ayahnya tidak memperkenankannya menikah sebelum selesai kuliah. Ada akhwat yang tidak lain adalah putri dari ustadz yang sudah kukenal dekat, tetapi, jujur saja ya, aku tidak berani maju karena merasa tidak layak mendampingi putrinya, terlebih mengingat bahwa abinya adalah ustadz senior. Aku sadar diri, dan mengaca pada diri sendiri; Aku ini bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa, sekalipun di kemudian hari aku tahu ternyata abi-nya sudah cocok dengan kepribadianku. Semoga Allah mempertemukan putrinya dengan orang yang lebih baik daripada aku. Ada akhwat, lagi-lagi putri seorang ustadz, yang masih belajar bahasa Inggris di Pare, tapi masa belajarnya melebihi semester tiga-ku; sementara aku mengharapkan calon istriku sudah siap ketika syawal lalu, atau setelah semester tiga-ku selesai pada awal Februari nanti. Dan tawaran-tawaran lainnya. Tidak ada yang berjodoh, terakhir ditawari mas’ul-ku, ustadz Imtihan dengan putri ustadz senior yang  masih kuliah di kedokteran. Tetapi dari biodata yang dibaca beliau di hadapanku –aku sama sekali tidak menyentuh dan tidak diperkenankan membacanya kecuali bila aku tertarik melanjutkannya-, aku sama sekali tidak tertarik. Entah. Sama sekali tidak ada niat untuk melanjutkan. Kriterianya tidak sesuai harapan karena memang dia tidak melengkapi kekuranganku. Terlebih ketika aku tahu, -berdasarkan biodata yang ditulisnya sendiri- akhwat yang bersangkutan masih berjilbab trendy, dan –ini yang paling tidak aku suka- dia mengupload foto-fotonya di FB. Hua…., aku tidak berminat, sama sekali tidak berminat. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhirinya, seketika itu juga, tanpa berpikir panjang. Prinsipku, kalau aku tidak berniat meneruskan dan tidak mendapati ada kecocokan, aku tidak akan bertanya lebih jauh…., sekalipun aku suka dengan hobi menulisnya, terlebih dia pernah juara lomba menulis. Katanya, dia punya blog, tetapi sampai sekarang, aku tidak tahu nama blog-nya apa….,
Sebelumnya, aku pernah naksir sama seorang akhwat yang aku harapkan kesediaannya untuk menjadi partner hidupku. Tetapi pada saat itu, mungkin karena momentnya tidak tepat, dia menolak dengan halus karena masih kuliah; khawatir kuliahnya akan terbengkalai, dan hak suami tidak terpenuhi. Di lain kesempatan, aku utarakan lagi, tetapi karena memang bukan rizkiku, dia ‘tidak mau’. Aku selalu berharap agar dia bisa walimahan duluan, eh ternyata sampai sekarang, dia masih single…., Aku hanya bisa mendoakan agar dia mendapatkan jodohnya, tidak lama setelah aku menikah nantinya.
Jadi, pengalaman mencari perempuan yang akan kupilih menjadi pendamping hidupku begitu rumit ternyata…., tidak semudah yang kubayangkan sebelumnya. Awalnya aku berpikir, alumni dari Perguruan Tinggi Islam di Solo, tempat aku belajar, tidak akan kesulitan untuk mencari pasangan hidupnya. Tentu ini bukan tanpa alasan. Pasalnya aku sendiri pernah ditawari oleh seorang ustadz, dan beliau menyampaikan bahwa akhwat binaannya ada yang mencari alumni dari Perguruan Tinggi yang menjadi tempat belajarku. Tetapi sayang, tawaran itu datang ketika aku belum berkeinginan untuk menikah dalam waktu dekat. Ketika aku ingin mencari biodata akhwat tersebut kepada ustadz yang bersangkutan pada beberapa bulan setelahnya, ustadz tersebut ternyata belum membawa biodatanya. Ya udah, memang bukan rizkinya…., akhirnya kutinggalkan.
Cerita lainnya,  teman seangkatanku memberitahukan tentang kegelisahan teman istrinya. What? Iya, tentang kegelisahan teman seangkatan istrinya yang dulu sama-sama belajar di Perguruan Tinggi Islam di Sra***. Ceritanya, ia bingung dan gelisah karena akan didatangi oleh alumni LIP**, yang hendak melamarnya. Ia gelisah karena yang diharapkan datang menjemputnya adalah alumni Perguruan Tinggi Islam di Solo, tempat belajarku. Karenanya dia mengutarakan hal itu kepada temannya yang menjadi istri temanku itu. Kemudian hal itu disampaikan kepadaku melalui suaminya yang tidak lain adalah teman seangkatanku. Hua…, ukhti, kenapa sampai segitunya; kalau ikhwannya baik dien dan akhlaknya kenapa harus menolak, dan menghindar…., ndak perlu lah harus alumni sini-sana; yang namanya jodoh ndak akan kemana. Iya tho…?.  Kutinggalkan tawaran itu karena aku lebih berminat untuk melanjutkan studiku.
Oke, kita kembali ke awal pembahasan. Setelah berbicara panjang lebar mengutakan niat baikku, temanku menangkap keseriusanku. Dia berniat untuk membantuku, sebisanya. Mungkin dia mengingat terus kekata yang pernah aku utarakan kepadanya waktu itu, “memang pahalanya besar sekali ya kalau ada mak-comblang yang berhasil mempertemukan seorang ikhwan dengan tulang rusuknya.”, dan pada saat itu dia mengangguk…., seolah mengatakan dalam diamnya, “aku akan membantumu ya akhi….” Tentunya dengan mengutarakan kepada ustadz senior sana yang biasa mengurusi urusan nikah-menikahkan ikhwan-akhwat.  [bersambung]