Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Akhirnya Kutemukan Cintaku (3)

Episode Ketiga
16 November 2011, “Sobat, perbanyaklah doa!”
Sekembalinya ke Ponorogo, kota di mana aku menimba ilmu untuk melanjutkan program pascasarjana, aku teringat dengan biodata yang aku serahkan kepada akhi Abdul Halim, tetapi selama hampir sepuluh hari-an, kenapa tidak ada kabarnya; tidak diterima atau bagaimana statusnya?
Untuk kali ini, aku malu untuk bertanya; apa jawabannya? Biarlah nanti akhi Abdul Halim sendiri yang memberitahu bagaimana hasilnya?
Akhirnya ada sms yang masuk, tetapi sms itu bukan berisi jawaban tetapi sebuah pertanyaan, “akh, kuhapus alamat webnya ya agar tidak ada komunikasi terlebih dahulu?”
Apa?? Yah, temanku ini ternyata belum menyerahkan curriculum vitae-ku. Rupanya dia bertanya-tanya tentang www.oaseimani.com, web yang kucantumkan di dalam biodataku. Maka langsung saja kujelaskan bahwa web itu hanya berisi artikel dan sama sekali tidak bisa digunakan untuk berkomunikasi. Maka, aku member pilihan kepadanya; terserah mau dihapus atau tidak.
Pada hari itu pula, 16  November 2011 pukul 16:28, dia memberikan nasehat, “Sobat…, perbanyaklah doa, jangan menyegerakan sesuatu yang Dia tunda, dan jangan pula menunda apa yang Dia segerakan.”
Aku menjawab, “InsyaAllah” dalam hati….,
Dan tidak lupa pula, agar biodataku tidak berada di tangan akhi Abdul Halim terlalu lama, aku memutuskan dengan segera agar akhwat yang bersangkutan memberikan jawaban pada tanggal 1 Desember nanti. Masih ada waktu sekitar dua minggu sejak saat itu.Bukannya aku tidak bersabar tetapi berani mengambil keputusan untuk menyegerakan kebaikan adalah sebentuk kesabaran.
Saat-saat itu, entah darimana, keyakinan akan diterima adalah sebuah jawaban yang sepertinya akan aku dapatkan. Keyakinan ini berlandaskan pada perasaan seolah-olah hati kami sudah terpaut, sekalipun aku belum tahu siapa namanya, apalagi wajahnya. Sekali lagi, sebelum memegang biodatanya, aku belum tahu siapa namanya. Yang kusebut dalam istikharahku adalah nama abinya. Siapa yang menghadirkan rasa itu kalau tidak Allah? Perasaan suka dan cinta yang kita pun tidak tahu karena sebab apa, dan sama sekali kita tidak bisa menolaknya…?!

Selasa, 29 November, “Biodataku berbalas”
Hari Selasa, aku memberitahukan akhi Abdul Halim akan pergi ke Solo. Dia mengerti maksudku, bahkan dia memberitahukan bahwa biodataku telah dibalas oleh akhwatnya. Aku bahagia sekaligus senang rasanya…., akhirnya diterima juga.
Sehabis Isya’, akhi Abdul Halim mengajakku berbicara empat mata; memperbincangkan kelanjutan proses kami. Pada intinya, dia menyerahkan biodata si akhwat, dan menyampaikan pesan dari pihak keluarga bahwa begitulah biodata apa adanya tentang putrinya. Ketika membuka amplopnya, aku melihat biodata singkatnya. Bener-bener singkat. Sama sekali tidak memuaskan. Biodatanya tidak menjawab biodataku; menanggapi kekurangan-kekuranganku misalnya, dan lain-lainnya. Terlebih lagi dalam biodata itu tidak disebutkan kekurangan-kelebihannya. Maka, aku putuskan untuk menyiapkan beberapa pertanyaan yang harus dia jawab. Entah kapan.

Jum’at, 2 Desember, “Kutunggu Jawabanmu”
Rabu malam Kamis, aku bener-bener gelisah; ada banyak pertanyaan yang menggelayut dalam benak yang harus aku sampaikan dan tanyakan kepada akhwat yang menjawab biodataku selasa lalu. Terlebih dalam biodatanya tertulis, “NB : Jikalau ada yang kurang jelas bisa ditanyakan langsung”, Maka aku meminta kepada akhi Abdul Halim agar bersedia meluangkan waktunya untuk membantuku melakukan nazhar. Akhirnya disepakati, malam sabtu, waktunya sehabis shalat  Isya’. Aku mengiyakan, dan akan pergi ke ma’had Ulul Albab. Untuk bertemu calonku…,
To the point, aku berangkat sekitar jam pukul 17.00, dan berhenti di sebuah masjid di Semanggi untuk mengisi kajian umum; bapak-bapak dan ibu-ibu, sebagai pengganti dari ustadz yang berhalangan hadir. Rencananya, dari masjid inilah, aku akan diantar ke Ulul Albab oleh salah seorang jamaah pengajian.
Selesai shalat Isya’, akhirnya aku diantar menuju ma’had Ulul Albab. Malam itu, hujan deras. Sehingga akhi Abdul Halim membatalkan acara pertemuan itu. Sesuatu yang sudah aku prediksikan sebelumnya. Karenanya, aku sudah menyiapkan beberapa pertanyaan dalam satu lembar khusus yang sudah aku print. Karena tidak jadi nazhar malam itu, aku putuskan untuk memberikan lembar pertanyaan itu kepada akhi Abdul Halim untuk diserahkan kepada calon-ku, dan aku menanti jawabannya besok pagi sekitar pukul 06.00; sebelum aku kembali ke Ponorogo.
Tiba-tiba, pada pukul  20:59, akhi Abdul Halim berkirim sms, “Wah ana jadi penasaran lo akh….ada sesuatu yang muncul rupanya, ana usahakan besok pagi bisa ketemuanlah…”
Sebenarnya aku tahu masuknya sms itu ke hp-ku, tetapi aku sengaja tidak langsung menjawabnya. Aku baru membalas pada pukul 03.00, “Seharusnya memang harus ketemuan.”

Sabtu, 3 Desember; Nazhar setengah jam
Pagi itu, sehabis shalat Shubuh sekitar pukul 05.00, akhirnya aku bisa nazhar sekaligus tanya-tanya. Lucu sebenarnya proses nazharnya. Kiranya baru kali itu deh ada nazhar sehabis shubuhan. ^_^ . tidak hanya itu, selama perjalanan proses nazhar itu aku tertawa melulu. Tertawa dalam hati tentunya. Lucu, sure…., ketika dianya diminta buka cadar,huwaaa…, malu sekali dia. Ketika sudah membuka pun dia juga menundukkan kepala…., ah, dari awal sampai akhir, aku berusaha curi-curi pandang sebisanya….. ^_^
Selanjutnya aku mengajukan beberapa pertanyaan yang sebelumnya saya berikan. Berikut isi pertanyaan-pertanyaannya :
Langsung aja, ada beberapa pertanyaan yang berputar-putar di kepala ana :
  1. Membalas biodata ana berarti anti menerima ana, dan melanjutkan proses selanjutnya, iya kan?; pertanyaannya, apa NIAT anti menerima ana; apakah hanya karena ingin menaati saran dan harapan orang tua anti –dalam hal ini adalah abi anti– atau apa? —setelah membaca artikel Fauzil Azhim tentang ‘Awalnya dari niat’ niat ketika-sedang-akan dan setelah menikah akan menentukan besar-kecilnya barakah dalam pernikahan.
  2. Apakah anti mendapatkan kemantapan hati ketika memutuskan untuk melanjutkan? padahal ana udah mengingatkan ‘wajib berpikir 1000 kali’?
  3. Apa tanggapan anti tentang kekurangan-kekurangan ana? *banyaksekaliloh*
  4. Tentang criteria nomor 5 dalam bioadata ana, “siap survive hidup di mana saja”, apakah anti siap bila ternyata ana dipindahtugaskan ke tempat yang entah di mana?
  5. Ana masih semester 3, dan masuk setiap Sabtu sampai Selasa, liburnya berarti Rabu sampai Jum’at. Kalau misalnya –cuman misalnya lho, sekali lagi sekedar misalnyah- pada semester ini kita dah akad, lalu ana pulangnya seminggu atau dua minggu sekali, apakah anti siap?
  6. Tentang kesehatan anti, ana pingin tanya; apakah jadual tamu bulanan anti teratur? Pada minggu ke berapakah?
  7. Tentang kekata anti, “bisa menerima saya apa adanya” pertanyaan ana, apa makna dari kalimat apa adanya?? Apa kelebihan dan kekurangan anti –nah, ini nih point terpenting yang tidak anti cantumkan di bioadata, padahal dah ana tunggu-tunggu sebenarnya–?
  8. Apakah ukhti punya FB?. Kalau punya, apakah pernah upload foto? Bila pernah, maka ana minta fotonya dihapussss!, tetapi bila tidak punya FB maka bagus sekali berarti.
  9. Memutuskan berkeluarga berarti siap menjaga aib pasangannya, tidak ada masalah sekecil apapun dalam hidup berumah tangga yang keluar dari rumah. Apakah anti sanggup menjaga apa yang harus dan wajib ditutupi?
Setelah pertanyaan-pertanyaan itu, aku tutup dengan kekata,
***jujur, pertanyaan di atas membuatku tidak nyenyak tidur, dan bergumam dalam hati, “sedemikian istimewanyakah diriku sehingga kau mau menerima aku?” ***
Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak aku tanyakan semua. Hanya beberapa saja, di antaranya adalah pertanyaan ke-empat yang menjadi pertanyaan wajib; “apakah siap survive hidup di mana saja?”. Aku membatasi beberapa pertanyaan saja karena kasihan melihatnya; dia, karena memang itu pengalaman pertama sepanjang hidupnya, belum lagi dia masih muda usianya, merasakan ketegangan dan nervous, sehingga jawabannya terdengar samar-samar. Begitulah, mengingatnya selalu membuatku tersenyum sendiri, dan sebenarnya maksud nazhar ini bukan untuk menentukan apakah dilanjutkan atau tidak, tetapi sekedar ingin tahu jawabannya saja. Sama sekali tidak mempengaruhi langkahku untuk maju, dan ternyata dia juga mengiyakan untuk maju juga.
Aku hanya ingin agar dia merasakan ‘ketegangan-ketegangan’ kecil sebelum acara walimahan nanti, dimana konon pada saat itu, banyak calon mempelai yang ‘stress’ tingkat tinggi sehingga tidak bisa tidur; tanpa tahu apa sebabnya. [bersambung].