Izinkan Aku Jadi Bagian Cinta Suamimu (Kisah Nyata)
Dua tahun lalu, tepatnya saat usiaku 20 
tahun, aku mulai berfikir untuk melepas kesendirian, ku utarakan niatku 
pada seorang akhwat senior yang memang sudah beberapa kali menawariku 
untuk “ta’aruf” dengan beberapa ikhwan yang semuanya kutolak karena 
berbagai alasan. Sampai ku mengenalnya, lewat sebuah situs pertemanan. 
Dia, Ubaid (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa di sebuah 
perguruan tinggi di timur tengah. Sosoknya yang begitu dewasa, santun, 
lagi berilmu. Segala yang kucari ada padanya. Sayangnya, dia sudah 
beristri dan memiliki seorang anak. Kutepis hasratku untuk mengenalnya 
lebih jauh.
Hari demi hari, entah kenapa aku semakin 
kagum padanya. Walau belum pernah bertatap muka, tapi diskusi kami lewat
 “chat”, kedalaman ilmunya, keindahan susunan kata-katanya, sungguh 
meninggalkan kesan yang begitu dalam di hatiku. Aku mulai jatuh hati 
padanya. Ubaid, pria beristri itu!
Ternyata rasa-ku tak bertepuk sebelah 
tangan. Hari selanjutnya ia menelponku, dan ia menanyakan pandanganku 
tentang polygamy. Tentu aku menjawab bahwa polygamy adalah sunnah. 
Sunnah yang dibenci kebanyakan orang. Oleh sebab itu, aku kagum pada 
mereka yang bisa menjalankannya. Pada akhwat-akhwat tangguh yang mampu 
mengalahkan egoisme dan “hati”nya untuk berbagi orang yang paling 
dicintainya. Bukankah tak akan sempurna iman seseorang sampai ia mampu 
memberikan pada saudaranya apa yang dia inginkan untuk dirinya sendiri? 
Blah blah blah, panjang lebar penjelasanku saat itu. Ubaid mendengarkan,
 lalu berkata : “ما شاء الله, seandainya semua istri berfikiran seperti 
anti”. “Maukah anti menjadi permaisuri kedua di istanaku?”
Semburat 
jingga langit sore itu menjadi saksi bahagiaku mendengar permintaannya. 
Tapi syukurlah logika-ku masih berjalan. Ku katakan padanya “Bagaimana 
mungkin antum meminta ana menjadi istri antum sedangkan bagaimana rupa 
ana-pun antum belum tau? Juga bagaimana nanti respon keluarga ana dan 
keluarga antum, mungkinkah mereka akan menerima?” Dia hanya diam. Lalu 
kutanya “Apakah istri antum mengetahui, antum ingin berta’addud?” Dia 
menjawab “Tidak, tapi pemahamannya sudah baik, insya Allah istri ana 
akan menerima”. Tersenyum aku mendengarnya. Lalu kami sudahi percakapan 
sore itu.
“Lebih baik kamu ga usah nikah selamanya 
daripada jadi istri kedua!” Teriak ibuku, saat ku tanyakan pendapatnya 
tentang polygamy. Padahal aku belum menanyakan bagaimana pendapatnya 
jika akulah perempuan yang dipolygamy itu.
Kuutarakan keberatan ibuku kepada Ubaid. 
Ibuku memang sering melihat contoh polygamy orang-orang tidak berilmu 
yang hanya mengedepankan nafsu. Itu sebabnya beliau begitu menentangnya.
 Walau berpuluh kali kukatakan pada ibuku bahwa polygamy yang didasari 
ilmu dan ketakwaan pada Allah tentu akan berbeda cerita.
Ubaid memintaku untuk terus mendakwahi 
ibuku sampai beliau mau menerima syariat ta’addud. Diapun melakukan hal 
yang sama pada istrinya. Meyakinkannya untuk rela berbagi denganku.
Pelan namun pasti, ibuku akhirnya luluh. 
Beliau tidak lagi mencaci pelaku polygamy, apalagi setelah kuterangkan 
tentang hukum menolak syari’at atau mengingkari ayat AlQuran. Begitulah 
ibuku, menentang di awal, kemudian luluh setelah hujjah di tegakkan. 
الحمد لله . Semoga beliau selalu dalam lindungan dan rahmat-NYA.
Kusampaikan kabar gembira itu pada ubaid 
lewat sebuah pesan singkat. Dibalasnya dengan “Alhamdulillaah, insya 
Allah liburan musim panas ini, ana akan menikahi anti”. Senang hatiku 
tak terkira.
Empat bulan masa penantian terasa begitu 
lamaaaa.. Tertatih menjaga hati.. Karena memang cara ta’aruf kami tidak 
sepenuhnya benar.. Kami sering berkomunikasi lewat chat, telpon, dan 
sms.. Astaghfirullaah..
Hari yang dinanti pun tiba. Ubaid pulang 
ke Indonesia. Sendiri. Tidak dengan anak istrinya. Pertemuan pertama, 
semua masih terasa sempurna. Begitupun saat dia meminangku pada kedua 
orang tuaku. Sosoknya yang “charming” membuat orang tuaku seolah lupa 
dengan statusnya yang sudah menikah dan memiliki seorang anak. Hingga 
diakhir pertemuan itu seorang kerabat mengingatkan. Karena Ubaid 
meyakinkan bahwa pernikahan kami atas izin dan restu istri pertamanya, 
orang tuaku akhirnya menyerahkan segala keputusan kepadaku. Tentu saja 
aku menerimanya. Dengan hati berbunga!
Ikhwan nan lucu, cerdas, berilmu dan tampan itu, akan menjadi suamiku! Gadis mana yang tak bahagia dipinang pria sepertinya?
Setelah tanggal disepakati, Ubaid pamit 
untuk pulang ke kampung halaman dan menjemput orang tuanya. Dia akan 
kembali lagi bulan depan karena banyak jadwal mengisi kajian di kampung 
halamannya selama liburan musim panas.
Pada tanggal yang disepakati, Ubaid 
datang ke rumah. Tapi tidak dengan orang tuanya. Karena ternyata orang 
tuanya tidak merestui rencana pernikahan kami. Orang tuaku pun tidak 
akan merestui jika pernikahan ini tidak mendapat restu dari keluarga 
Ubaid. Buyar sudah rencana kami untuk menikah. Karena Ubaid tidak juga 
mendapat restu orang tuanya sampai masa liburannya berakhir. Dia kembali
 ke timur tengah untuk melanjutkan study, dan tentu saja untuk kembali 
pada istri dan anaknya. Cemburu kah aku? Ah.. Aku bahkan tak berhak 
sedikitpun untuk cemburu!
Aku hanya bisa menangis dan menangis. 
Ingin melupakannya saja, tapi rasa untuknya sudah terhujam sedemikian 
dalam. Astaghfirullaah. Ampuni aku ya Allaah.
Ubaid memintaku untuk menunggu. Dia 
berjanji akan menikahiku musim panas tahun depan. Aku yang dungu pun 
menunggu!! Setahun berlalu, beberapa proposal taaruf sudah kutolak 
dengan alasan “sudah ada calon”. Intensitas komunikasiku dengan Ubaid 
sudah jauh berkurang. Selain karena kesibukannya menghadapi ujian, juga 
demi menjaga hubungan kami agar tidak melewati batas.
Hingga tiba masa yang kunantikan. Liburan
 musim panas tahun berikutnya! Ubaid pulang ke Indonesia dengan istri 
dan dua anaknya! Ya, DUA anaknya. ternyata istrinya baru saja melahirkan
 anak kedua mereka.
Kunantikan janjinya. Pekan pertama, 
kedua, dan ketiga. Saatnya Ubaid datang dan menikahiku! Tapi tak ada 
kabar darinya! Kutelpon seorang akhwat temanku yang juga adalah 
tetangganya. temanku mengabarkan, Ubaid sedang menjaga istrinya di Rumah
 Sakit! Ternyata pekan lalu, istrinya mencoba bunuh diri dan mengancam 
akan membunuh bayinya setelah mengetahui rencana pernikahan kami! 
Allahul musta’an
Saat itu juga ku mantapkan niatku untuk 
mengakhiri semuanya. Walau sedikit terlambat! Ternyata Ubaid tidak 
pernah menyatakan niatnya menikahiku kepada istrinya, dia berencana 
melakukannya diam-diam. Dan dia juga tidak pernah memberitahuku bahwa 
istrinya mengidap depresi berat.
Singkat kata, aku menyiakan 1,5 tahun usiaku untuk menunggu seseorang yang tak layak kutunggu!
Hikmah apa yang bisa kita ambil dari kisah fulanah diatas?
Poligamy memang adalah sunnah yang sangat
 mulia. Apalagi sunnah yang satu ini seringkali di anak tirikan bahkan 
oleh umat muslim sendiri. Jadi tak perlu lagi di ragukan atau di 
perdebatkan tentang hukum dan keutamaannya. Justru yang patut kita soroti adalah adab “calon” pelaku poligamy.
Betapa sering kita jumpai kisah seperti 
di atas walau mungkin tidak sedramatis itu? Betapa banyak wanita-wanita 
yang harus “patah hati” karena merasa di permainkan oleh “calon pelaku 
poligamy”? Setelah menabung harap, ternyata si ikhwan hanya “coba-coba”.
 Ternyata ia belum benar-benar siap dan belum “menyiapkan” keluarganya.
So, bapak-bapak, kalau mau nikah lagi yang ‘wise’ ya. Jangan grusa grusu cari akhwat dulu kalau belum benar-benar siap dan sanggup bersikap “jantan” menghadapi semua rintangan.
Walaupun izin dan restu istri/keluarga 
tidak wajib ada, tapi setidaknya akan mengurangi banyak hal tidak 
menyenangkan di kemudian hari. Kalaupun mau lanjut tanpa izin dan restu 
keluarga, silahkan saja, asal mampu menanggung segala resiko dan 
akibatnya. Jangan malah lari di tengah jalan, sementara ada akhwat yang 
menangis karena terlalu awal menabung harap.
Untuk saudari-saudariku tercinta di luar 
sana, jangan gampang “main hati”.. Buang jauh-jauh rasa cinta dan 
sejenisnya sampai akad sudah terucap.. selain menghindarkan diri dari 
dosa juga menghindarkan diri dari sakit hati insya Allah..
(Kisah ini adalah sebuah kisah nyata yang
 diceritakan oleh seorang akhwat yang bersangkutan, tapi untuk info 
detailnya sengaja di samarkan.)
