Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Akhirnya Kutemukan Cintaku (4)

Episode Keempat
Rabu, 7 Desember 2011, “Pulang ke Kota Wali”
Sehari sebelumnya, Selasa pagi, aku menelpon kakakku, mbak Lailatul Mu’awwanah, alumni al Mukmin 2003, dan bertanya, “Mbak, kata dek milah, bapak pulang yah..?”dengan suara penuh kebahagiaan karena jarang-jarang bapak pulang. Maklum, sedang merantau ke Lampung, dekat tempat tinggalnya adik iparku.
Anehnya, mbak Laila langsung menebak dan menjawab, “Piye, kapan lamarane[bagaimana, kapan lamarannya?”
Aneh, og bisa tahu ya…, maka aku jawab, “Ih, og tahu sih mbak…”
“Ya, ikatan hati saja…., he he, karena terlihat seneng sekali, jadi aku nyimpulin seperti itu.”
Ha ha, memang pada saat menelpon, aku terlihat sangat senang dan bahagia ketika tahu bapak pulang. Karenanya, aku juga harus pulang untuk menemui bapak, dan mengutarakan maksud hati yang tidak bisa aku sampaikan lewat hp, dan tidak bisa pula aku wakilkan kepada orang lain untuk menyampaikannya. Akhirnya, kuputuskan untuk pulang pada hari Rabunya….,
Sebelum pulang, aku nulis status di FB pada 6 Desember pukul 05:12 WIB. “*serasa belum percaya, dan masih bertanya-tanya, sebegitu istimewanyakah saya?* -ada banyak cerita yang akan dan harus kusimpan, dan hanya akan kuceritakan ketika sudah waktunya- *rahasiasoalnya*”
Tidak ada makna lain dari status di atas kecuali proses mencari cintaku; betapa dimudahkan oleh Allah Ta’ala.
Setelah melalui perjalanan setengah hari yang melelahkan, dari Ponorogo ke Kota Wali, Demak, akhirnya sampai rumah juga. Sesampainya di rumah, aku utarakan maksudku; bahwa aku sudah menemukan cintaku; abi-uminya setuju dan dianya juga sudah setuju. Selanjutnya, aku meminta kesediaan bapak, karena kebetulan berada di rumah, untuk ikut serta pergi nembung keluarganya yang ada di Sukoharjo.
Sebenarnya bapak keberatan. Keberatan karena ibu tidak ada di rumah. Ah, ada pelajaran berharga dari kekata bapak, “Sebenarnya sih bapak bisa saja pergi ke sana, tetapi sekarang kan ndak ada ibu-mu; dia yang mengandung, melahirkan, mendidik, membesarkanmu. Masak hanya karena masalah ini, ibu tidak diikutsertakan kan tidak enak. Kita harus menghargai seorang ibu, sekalipun sebenarnya kita bisa menyelesaikannya sendiri. Agar kehadiran seorang ibu tidak merasa diremehkan. Tidak merasa direndahkan.” Subhanallah…, bagus sekali kekatanya.
Akhirnya, kami bersepakat bahwa bapak akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan ibu. Aku langsung menelpon ibu, pada malam itu juga, demi cintaku…, Setelah terhubung, aku serahkan hp-ku kepada bapak. Beliau berdiskusi-diskusi-diskusi hingga aku tegang sendiri. Lama sekali, dan akhirnyah…., setelah berhasil meyakinkan ibu, bapak memberitahukan bahwa besok pagi kami pergi ke Solo; bersama kakak ipar.
Kamis, 8 Desember 2011, “Sambutan yang Hangat”
“Mâ syâ’Allâh kâna wa mâ lam yasya’ lam yakun, apa yang Allah kehendaki akan terjadi dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi.”
Kita mungkin bisa berencana, tetapi tetap saja Allah yang menentukan segalanya. Perjalanan dari rumah, Kenduren, ke Solo akan kami mulai pada pukul 07.00, tetapi karena satu dan lain hal; kami baru berangkat dari Demak Kota pada pukul 10:00. Menjemput keponakan terlebih dahulu, menjemput adik yang baru pulang dari mengambil barang dari Bali, dan kejadian-kejadian aneh pada Kamis pagi itu. Aku sempat berpikiran, og jadi begini yah…., kapan nyampainya? Bukan apa-apa, hanya karena aku menjanjikan akan sampai di Sukoharjo sehabis Zhuhur nanti. Akhirnya kuputuskan untuk memberitahukan akhi Abdul Halim, “afwan, ana mungkin baru nyampai Solo pukul 14.00. sekarang ana baru berangkat dari Demak Kota.” lalu dijawab, “Iya, ndak papa, yang penting hati-hati saja.” Pesan ini tentu ditujukan sebagai pemberitahuan kepada pihak keluarga putri.
Setelah melalui perjalanan yang lumayan melelahkan, kami sampai di pondok Ulul Albab sekira pukul 02.30 WIB, dan istirahat sebentar hingga masuk waktu Ashar. Setelah selesai shalat Ashar, aku beserta bapak dan kakak ipar yang ditemani oleh temanku dan juga ustadz senior di sana untuk bersilaturahmi ke rumah mertua.
Apa yang terjadi dengan silaturahmi itu? Berjalan sesuai rencana. Pertemuan kami dengan pihak keluarga putri berlangsung dengan nuansa kekeluargaan. Kami diterima dengan wajah-wajah ceria. Apalagi bila bapak dan abi –panggilan untuk bapak mertua-- saling bercerita tentang orang-orang yang dikenalnya; ternyata teman bapak ada yang dikenal oleh abi, bahkan abi titip salam kepada bapak untuk salah seorang kakak kelasnya ketika dulu sama-sama mondok.
Setelah berbincang sini-sana, bapak mengutarakan maksud kedatangannya. Setelah berucap salam, dan memulai dengan tahmid dan shalawat, bapak menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga putri; pertama, permintaan maaf karena datang terlambat; seharusnya kami rencanakan setelah Zhuhur sudah datang untuk bersilaturahmi tetapi baru terlaksana setelah Ashar; kedua, permintaan maaf karena bapak datang tanpa disertai dengan ibu, dan ketiga, permintaan maaf karena putra bapak, yaitu aku sendiri, berniat ingin melamar putri tuan rumah.
Setelah itu, hening sejenak. Kemudian abi mempersilahkan kepada kakaknya untuk menjawab. Sebenarnya, kakaknya abi alias pak dhe ingin meminta jawaban langsung dari calonku, tetapi karena dianya berada di lantai atas; mendekam diri di dalam kamar karena malu, pak dhe langsung mengiyakan, “Iya, kami terima.” Jawaban itu membuatku lega, sekalipun aku sudah memprediksikannya.
Kalau toh seandainya aku tidak diterima karena musyawarah keluarga, sekalipun abi-umi-dan dia-nya sudah mau, maka aku akan menerima apapun jawabannya; karena aku sadar diri; aku ini bukan siapa-siapa, dan tidak memiliki apa-apa.
Setelah acara lamaran selesai, kami undur diri untuk pulang dengan ditemani oleh akhi Muflihun dan Syamsul yang menunjukkan jalan menuju terminal Tirtonadi. Dari terminal ini, aku berpisah dengan bapak dan kakak iparku; mereka pulang ke Demak sementara aku kembali ke kota ilmu, Ponorogo.
Ketika sedang menikmati perjalanan di bis Sumber Kencono yang melaju dari Solo ke Madiun, aku merenungi semua perjalananku mencari cintaku; aku merasakan kehadiran campur tangan Allah yang begitu dekat, dan sangat indah; Dia mempermudah niatku untuk melaksanakan perintah-Nya dan meneladani sunah Nabi-Nya, semudah-mudahnya. Aku sangat salut dan takjub dengan skenario-Nya; dari awal pertemuan antara aku dengan akhi Abdul Halim di al Aqsha ketika I’tikaf bersama, istikharahku sebelum aku menyerahkan biodataku, biodataku yang berbalas pada hari Selasa, 29 lalu dilanjutkan nazhar setengah jam pada hari Sabtu, kemudian berita kepulangan bapak yang begitu kebetulan; pulang pada saat-saat yang aku butuhkan, tidak lama setelah itu dilanjutkan acara khitbah pada sore hari tadi. Semua terasa singkat. Begitu cepat. Seolah aku berada dalam mimpi. Pasalnya durasi waktu antara biodata dia yang sampai ke tanganku dengan khitbah hanya 9 hari. Ya, hanya 9 hari. Ajib. Bukannya aku tak sabar tapi berani mengambil keputusan untuk menyegerakan kebaikan adalah sebentuk kesabaran. Bener-bener indah….., semua kejadian itu secara tak sadar membuat mataku basah; butiran bening jatuh dari kelopak mataku…., aku bener-bener terharu. Ya Allah, akhirnya Kau kabulkan pintaku untuk mengikuti sunah Nabi-Mu….,
Bahkan, aku merinding juga bila mengingat makna doa yang aku lantunkan dalam doa-doaku, “Ya Allah, apabila bintu shâimin baik bagi dien, dunia dan akhiratku, maka tautkanlah hatinya dengan hatiku, dekatkanlah, mudahkanlah kemudian berkahilah ya Rabb…..Engkau Maha Tahu bahwa hamba ingin melaksanakan perintah-Mu dan meneladani sunah Nabi-Mu, maka perkenankanlah pinta hamba-Mu ini ya Allah…”….., kekata“tautkanlah hatinya dengan hatiku” ini sangat ajaib, menurutku; karena siapakah yang lebih mampu mempertautkan dua insan yang sebelumnya tidak pernah saling mengenal, bahkan saling melihat wajah pun tidak pernah, selain daripada Allah?? Tentu hanya Allah yang menggerakkan hati-hati kami.
Aku pun merasa berhutang budi kepada akhi Abdul Halim. Segera saja aku berkirim sms,“ana tidak bisa berucap apa-apa kecuali jazakumulah sejiddan-jiddannya, wa barakallahu fikum.”  Kemudian sms itu berbales, “Amin..”
Sepertinya, akhi Abdul Halim inilah yang berhasil memenangkan sayembaraku; siapapun yang berhasil mempertemukanku dengan tulang rusukku maka akan aku beri 2 buku Ensiklopedi Hikmah-ku. Tentu sayembara ini hanya aku yang tahu, selain Allah tentunya, karena memang sayembara ini kusimpan dalam hati. Selamat ya Akhi, setelah walimahan nanti, antum berhak mendapat 2 buku Ensiklopedi Hikmah-ku; ^_^
Tidak lama berselang, akhi Abdul Halim berkirim sms lagi pada pukul 20:49, “Ini ana kasih nomor dia; anta tanya mahar yang diinginkan apa, biasanya wanita malu, tapi sedikit desak untuk bisa utarakan maunya 085647******”
Tetapi sms itu tidak kubalas. Aku lelah. Ingin istirahat pada malam itu. Selama dua hari melakukan perjalanan sangat melelahkan. Bener kata Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, “as safaru qith’atun minal adzâb, safar adalah bagian dari siksaan.” Melelahkan tetapi menyenangkan karena ber-happy ending; cintaku diterima.
Jum’at, 9 Desember 2011, “Ukht, Minta Mahar apa?”
Jum’at pagi, aku melihat-lihat isi sms akhi Abdul Halim tadi malam. Sebuah izin dari mak-comblang-ku untuk bertanya langsung kepada calonku. Tidak ada makna yang lain. Tetapi aku meragu…., antara bertanya langsung atau tidak. Secara, seharusnya aku langsung bertanya kepada akhi Abdul Halim agar tidak ada fitnah, tapi kenapa dia malah memberikan nomor hp calonku, dan memintaku bertanya langsung. Dengan ragu, aku pun berkirim sms, “Ukh, antum minta mahar apa? –ikhwanu”
Beberapa menit kemudian, sms itu berbalas, “Terserah antum yang mau ngasih. Gimana yang lebih baik, buat ina manut aja.”
Jawaban itu sebenarnya sudah bisa kutebak; dia pasti tidak akan pernah mau memberi tahu minta mahar apa. Maka aku sedikit galak dengan berkirim sms lagi, “Ya ndak boleh gitu. Itu kan hak antum. Pokoknya antum harus sebutin. Titik.” Sms itu bener-bener galak. Sama sekali tidak ada lembutnya. Memang kusengaja karena bagaimana pun dia bukan siapa-siapaku.
Dia bingung juga mau njawab apa? tetapi akhirnya dijawab juga, “afwan, ana bener-bener gak minta apa-apa, monggo terserah antum aja.”
Setelah itu, aku tanya, apakah sudah ada buku tentang keluarga di rumahnya?. Kemudian dia membalas dengan sms, “kalau buku-buku tentang keluarga dah punya dari penerbit Aqwam.” Tidak hanya itu, ada kekata lanjutannya, yaitu, “Afwan, ana pengen tetep menjaga hati sampe tiba waktunya. Kalau ada perlu atau apa-apa yang mau ditanyakan, lewat ust. Halim atau ummi mawon nggih?”
Aku, jujur, sangat salut dengan smsnya. Ingin sekali kujawab dengan, “Subhanallah, I like it.” sebagaimana komentarku pada status teman FB yang begitu aku kagumi. Tetapi aku tidak ingin menampakkan kesalutan dan kekagumanku, maka aku hanya membalas biasa saja, “Iya”
Setelah sms itu pun, karena memang anak umi banget, dia curhat ke umi –panggilan untuk ibu mertua tersayang-. Langsung saja umi  juga berkirim sms, “Mas ikhwan, tadi ina pesen; katanya jangan kontak+sms dulu takut maksiat hati/ sabar dulu nunggu sah. Mas ikhwan bisa lewat ust. Halim atau uminya ina.”
Deg. Aku bener-bener malu. Secara, memang tidak etis aku berkirim sms seperti itu, sekalipun dia adalah calonku. Kalau mau jujur lagi, sebenarnya aku melakukan apa yang dulunya aku ingkari sendiri. Dulu sekali, sekitar tahun 2009, aku menjadi mak-comblangantara kakak sepersusuanku (putrinya bu dhe dari jalur ibu) dengan seorang ikhwan. Pada saat itu, keduanya sudah nazhar dan sepakat akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Nah, ketika memperbincang masalah mahar, ikhwannya langsung bertanya kepada kakakku. Karuan saja, aku memarahi ikhwannya; seharusnya lewat aku dulu, karena bagaimana pun kakakku belum menjadi istrinya. Ya Allah, kenapa yang dulu aku ingkari sekarang aku lakukan sendiri….? entah bagaimana pandangan para pembaca, yang jelas, aku merasa bersalah, dan hanya bisa beristighfar kepada Allah Ta’ala; semoga Allah sudi mengampuni khilafku….,
Mengingat bunyi sms itu, “Afwan, ana pengen tetep menjaga hati sampe tiba waktunya. Kalau ada perlu atau apa-apa yang mau ditanyakan, lewat ust. Halim atau ummi mawon nggih?”  aku sering bergumam sendiri, “Ya Allah, kebaikan apa yang aku lakukan hingga Engkau hadirkan wanita shalihah sepertinya untukku; layakkah aku mendampinginya…?”  [bersambung]