Hantu Antara Dongeng dan Syari’ah
Masyarakat Indonesia
mengenal berbagai jenis hantu (makhluk spiritual) sehingga banyak istilah yang
muncul untuknya. Sebut saja misalnya: kuntilanak, sundel bolong, tuyul, pocong,
genderuwo, siluman, drakula, suster ngesot, dan masih banyak lagi lainnya.
Cerita tentang hantu
banyak memenuhi buku-buku dongeng dan film-film horor sehingga membuat gambaran
menyeramkan dalam pikiran banyak orang. Hantu sering digambarkan dengan makhluk
yang sangat menyeramkan, memangsa manusia, rambut berantakan, berkuku panjang,
mata melotot, tinggal di rumah sepi atau area kuburan atau tempat pembunuhan.
Namun, sebenarnya masalah hantu bukanlah masalah baru, melainkan masalah klasik
yang ada sejak zaman dahulu.
Pembahasan
tentang hantu selalu unik dan menarik untuk diulas. Namun, sayangnya jarang
sekali yang membahasnya melalui sudut pandang syari’at Islam. Oleh karenanya,
kami merasa perlu untuk membahas tentang hantu ini sebab banyaknya kerancuan
seputar masalah ini dan anggapan sebagian kalangan bahwa Islam tidak membahas tentangnya,
bahkan ada yang melampaui batas sehingga menganggap bahwa hantu adalah salah
satu Tuhan(!). Maha Suci Allah dari ucapan mereka.[1]
Nah, tulisan ini akan
lebih difokuskan pada hadits-hadits Nabi yang membicarakan tentang “hantu”
karena dalam sebagian hadits ada penjelasan tentang adanya hantu tetapi dalam
hadits lain ada penjelasan bahwa hantu itu bukan hantu. Lantas, bagaimana cara
mengkompromikannya?!!
Teks Hadits
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ « لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا غُولَ ».
Dari
Jabir berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Tidak ada penyakit menular, thiyarah (merasa
sial), dan ghul (hantu).’ ”
SHAHIH. Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîh-nya
no. 2222, Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzîbul Âtsârno. 25, Ali
bin Ja’ad dalam Musnad-nya no. 2693, al-Baghawi dalam Syarhus
Sunnah no. 3251, Ahmad dalamMusnad-nya 3/293, Ibnu Abi Ashim
dalam as-Sunnah no. 281, ath-Thahawi dalam Musykilul
Âtsâr 1/340 seluruhnya dari jalur Abu Zubair dari Jabir.
Dan
riwayat Abu Zubair dari Jabir adalah lemah, sebab Abu Zubair adalah seorang mudallis (menyembunyikan
cacat) dan dia meriwayatkan dengan lafazh ’an (dari). Namun,
hadits ini shahih karena dalam jalur lain telah ditegaskan bahwa Abu Zubair
mendengar langsung dari Jabir, sebagaimana dalam jalur Ibnu Juraij dalam
riwayat Ibnu Jarir dalam Tahdzîbul Âtsâr no. 26, ath-Thahawi
dalam Musykilul Âtsâr 1/340, Ibnu Abi Ashim dalamas-Sunnah no.
268, Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya no. 6095.
Hadits
ini sangat jelas menunjukkan penafian (peniadaan) adanya ghul. Apa
yang dimaksud dengan ghul? Berikut ini ungkapan beberapa ucapan
ulama dan ahli bahasa tentangnya:
•
Ibnu Duraid berkata, “Ghul menurut orang Arab adalah tukang sihir
dari kalangan setan dan jin. Inilah pendapat al-Ashma’i.” [2]
•
Ibnul Manzhur berkata, “Ghul adalah penyihir dari jin.” [3]
•
Ibnu Katsir berkata, “Ghul dalam bahasa Arab artinya jin yang
tampak di malam hari.” [4]
•
Al-Jahidz berkata, “Ghul adalah ungkapan untuk jin yang mengganggu
orang yang bepergian dan menjelma dalam beberapa bentuk, baik berjenis pria
atau wanita.” [5]
Dari sini dapat kita
ketahui bahwa hantu (ghul) bukanlah arwah gentayangan atau orang mati yang bisa
hidup kembali arwahnya untuk balas dendam, karena semua itu adalah khurafat
yang batil, sejenis dengan reinkarnasi yang merupakan aqidah orang-orang kafir
yang dibatalkan oleh Islam.
Sekilas Bertentangan
Hadits di atas
menunjukkan bahwa hantu itu tidak ada, namun dalam hadits lainnya Nabi
menetapkan adanya hantu, diantaranya adalah hadits Abu Ayyub sebagai berikut:
Dari Abu Ayyub
bercerita bahwa dirinya memiliki sebuah rak/lemari kecil, lalu hantu datang
seraya mengambil (baca: mencuri) isinya. Akhirnya beliau mengeluhkan hal itu
kepada Nabi, maka Nabi berkata kepadanya, “Apabila kamu melihatnya maka
katakanlah: ‘Dengan nama Allah, penuhilah Rasulullah.’” Ketika hantu itu datang
lagi, maka Abu Ayyub mengatakan seperti yang dipesankan Nabi seraya
menangkapnya, tetapi hantu itu mengatakan, “Saya berjanji tidak akan datang
lagi kemari.” Mendengarnya, Abu Ayyub melepaskannya. Ketika dia bertemu dengan
Nabi, maka Nabi bertanya kepadanya, “Apa yang diperbuat oleh tawananmu?” Abu
Ayyub menjawab, “Saya menangkapnya tetapi dia berjanji padaku untuk tidak
kembali lagi sehingga saya lepaskan lagi.” Nabi bersabda, “Dia akan kembali
lagi.” (Kata Abu Ayyub:) Saya telah menangkapnya dua atau tiga kali tetapi dia
selalu berjanji padaku untuk tidak kembali lagi. Suatu saat ketika saya
menangkapnya, dia mengatakan padaku, “Lepaskanlah aku dan saya akan mengajarkan
kepadamu sebuah ucapan yang jika engkau membacanya niscaya engkau tidak
diganggu oleh setan yaitu bacaan Ayat Kursi.” Abu Ayyub lalu datang kepada Nabi
seraya mengabarkan omongan hantu tersebut, lalu Nabi bersabda, “Dia benar dalam
hal ini, padahal dia adalah pembohong.”
SHAHIH. Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi no. 2880, Ibnu
Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 10/397–398, ath-Thabarani dalam al-Mu’jam
al-Kabîr no. 4011, Abu Nu’aim dalam Dalâil Nubuwwah hlm.
526, al-Hakim dalam al-Mustadrak 3/459, ath-Thahawi dalam Musykilul
Âtsâr 5/423.
Hadits
ini memiliki banyak jalur dan penguat dari hadits Ka’ab bin Malik, Abu
Hurairah, Muadz bin Jabal, Buraidah, Abu Usaid as-Sa’idi, dan sebagainya. Oleh
karenanya, Imam Hakim berkata, “Hadits-hadits ini apabila dikumpulkan maka
menjadi hadits yang masyhur.” Dan Imam Dzahabi berkata mengomentari hadits di
atas, “Ini adalah jalur hadits ini yang paling bagus.” Dan dishahihkan Syaikh
Albani dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzîno. 2880.
Hadits
ini dan hadits-hadits lainnya menunjukkan tentang adanya hantu.[6] Hal ini diperkuat oleh ucapan
sebagian ulama bahwa banyak para sahabat yang melihat hantu, di antaranya
adalah Umar bin Khaththab a\.[7]Imam Qurthubi juga berkata, “Mayoritas
orang Arab banyak bercerita dan mengaku bahwa mereka pernah melihat
hantu.” [8]
Dan
dalam hadits ini terdapat faedah lainnya yaitu mungkinnya seorang untuk melihat
jin dan hantu tetapi bukan dengan bentuk asli mereka dan bahwasanya hantu bisa
berubah-rubah wujudnya[9] karena mereka adalah tukang sihir
dari kalangan jin sebagaimana kata Umar bin Khaththab, “Tidak ada seorang pun
yang bisa berubah dari wujud asli ciptaan Allah, tetapi pada mereka (jin)
terdapat tukang sihir seperti pada kalian (manusia). Karena itu, jika kalian
melihat hantu maka kumandangkan adzan.” [10]
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata, “Banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwa mereka bisa
berubah wujud. Ahli kalam berselisih tentang hal itu. Ada yang berpendapat
bahwa itu hanya fiktif/khayalan belaka dan tidak ada yang bisa berubah wujud.
Dan ada yang berpendapat bahwa mereka bisa berubah wujud tetapi bukan dengan
kemampuan mereka namun dengan melakukan ritual-ritual seperti sihir.” [11]
Mengurai Benang Kusut
Bila
kita cermati dua hadits di atas, sekilas nampak ada kontradiksi, sebab di satu
sisi Nabi meniadakan adanyaghul (hantu), tetapi di sisi lain beliau
juga menetapkan wujudnya. Oleh karena itu, para ulama berusaha untuk
menjelaskan duduk permasalahan tersebut dan pendapat mereka terpolar menjadi
tiga pendapat:
Pendapat pertama: Hantu itu tidak ada wujudnya
Mereka
mengatakan: Hantu hanyalah untuk menakuti-nakuti saja tetapi sebenarnya wujud
mereka tidak pernah ada. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Mabrid,
Abdurrahman al-Maidani, dan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha beliau mengatakan,
“Pendapat yang kuat dan masuk akal bahwa hantu itu hanyalah fiktif dan khayalan
belaka yang tidak ada faktanya. Bisa jadi orang yang melihatnya karena melihat
hewan yang aneh seperti kera.” [12]
Namun, pendapat ini
lemah sebab bertentangan dengan hadits Abu Ayyub dan atsar Umar bin Khaththab
di atas.
Pendapat kedua: Hantu pernah ada kemudian sudah tidak
ada lagi
Pendapat
ini dikuatkan oleh Imam Thahawi, beliau mengatakan setelah membawakan hadits
Abu Ayyub, “Dalam hadits ini Nabi menetapkan adanya hantu, namun dalam
hadits-hadits sebelumnya Nabi meniadakannya. Mungkin seorang akan mengatakan
bahwa ini adalah kontradiksi antara hadits Nabi. Kita jawab: Tidak ada
kontradiksi antara keduanya karena bisa jadi hantu memang ditetapkan dalam
hadits Abu Ayyub, namun setelah itu diangkat oleh Allah sebagaimana dalam
hadits Jabir. Inilah metode yang paling baik untuk mengkompromikan antara
hadits-hadits ini.” [13] Pendapat ini juga dikuatkan oleh
Ibnu Malik.[14]
Namun,
pendapat ini juga lemah karena tidak ada dalil yang jelas akan adanya nasikh
mansukh (ada yang menghapus dan dihapus).
Pendapat ketiga: Pendapat yang kuat
Mayoritas ulama
mengatakan bahwa maksud Nabi “Tidak ada ghul” bukan berarti tidak ada wujud
hantu, tetapi maksud Nabi adalah meniadakan kepercayaan dan khurafat yang beredar
di masa jahiliah (hingga sekarang) bahwa hantu makan manusia, menyesatkan
manusia di jalan, bebas menjelma seenaknya, dan sebagainya.
Pendapat ini adalah
pendapat yang lebih kuat ditinjau dari beberapa alasan sebagai berikut:
1. Tidak terbukti
secara syar’i, akal, dan fakta bahwa hantu memakan manusia, penampakan di
lembah-lembah seperti khurafat-khurafat yang beredar.
2.
Nabi mengiringkan peniadaan hantu dengan peniadaan penyakit menular, bulan
Shafar, dan thiyarah (merasa sial) padahal Nabi juga
menetapkan adanya penyakit menular, sehingga para ulama menjelaskan bahwa
maksud ucapan Nabi bahwa tidak ada penyakit menular yakni keyakinan jahiliah
bahwa penyakit itu menular dengan sendirinya, bukan berarti tidak ada penyakit
menular sama sekali.[15]
Ibnu
Jarir ath-Thabari mengatakan, “Dalam sabda Nabi ‘Tidak ada ghul/hantu’ terdapat
penjelasan bahwa Nabi membatalkan kepercayaan jahiliah tentang hantu bahwa
mereka bisa menolak bahaya dan memberikan manfaat tanpa campur tangan Allah.
Oleh karena itu, Nabi mengiringkannya dengan kepercayaan bangsa Arab lainnya
bahwa hal-hal tersebut bisa membahayakan dan bermanfaat dengan sendirinya seperti
penyakit menular, bulan Shafar, dan thiyarah.” [16]
3.
Imam Nawawi berkata, “Mayoritas ulama mengatakan, ‘Bangsa Arab berkeyakinan
bahwa hantu dari jenis setan di lembah-lembah bisa menjelma dengan berbagai
bentuk lalu menyesatkan jalan mereka lalu membinasakan mereka.’ Oleh karenanya,
Nabi membatalkan hal itu. Ulama lainnya mengatakan, ‘Maksud hadits ini bukanlah
peniadaan wujudnya hantu, melainkan maksudnya adalah membatalkan keyakinan
orang Arab bahwa hantu bisa menjelma dalam berbagai bentuk lalu menyesatkan
manusia.’ ” [17]
4.
Dalam beberapa hadits dari Abu Ayyub, Ubai bin Ka’ab, dan sebagainya
ditunjukkan bahwa maksud peniadaan dari hantu adalah bukan peniadaan wujud
mereka, melainkan keyakinan orang Arab tentang hantu. As-Suhaili berkata,
“Makna ‘Tidak ada ghul/hantu’ adalah Nabi membatalkan keyakinan jahiliah
seputar dongeng-dongeng dan khurafat tentang hantu.” [18] Al-Baghawi juga berkata, “Sabda
Nabi ‘Tidak ada ghul/hantu’ bukanlah berarti tidak ada wujud hantu, melainkan
maksudnya adalah tidak ada kepercayaan Arab yang mengatakan bahwa hantu bisa
menjelma kepada manusia dengan berbagai bentuk lalu menyesatkan mereka dan
membinasakan mereka. Syari’at mengabarkan bahwa hantu tidak mungkin bisa
melakukan semua itu berupa penyesatan dan kebinasaan kecuali dengan izin
Allah.” [19]
Benteng Diri dari Gangguan
Hantu
Syari’at Islam telah
sempurna, tidak ada suatu kebajikan apa pun kecuali telah dijelaskan dan tidak
ada suatu keburukan pun kecuali telah diperingatkan. Di antara hal yang
dijelaskan oleh Islam adalah kiat-kiat agar terhindar dari gangguan hantu.
Bagaimana caranya? Ikutilah petunjuk berikut:
1. Membaca nama Allah
Dalam hadits Abu
Ayyub di atas dikisahkan bahwa ketika beliau mengeluhkan kepada Nabi n\ dari
gangguan hantu maka beliau bersabda:
فَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَجِيبِى رَسُولَ اللَّهِ
“Katakanlah bismillah
(dengan nama Allah), penuhilah Rasulullah.”
2. Membaca Ayat Kursi
Dalam hadits Abu
Ayyub di atas juga disebutkan bahwa hantu yang ditangkapnya mengatakan pada Abu
Ayyub, “Lepaskanlah aku dan saya akan mengajarkan kepadamu sebuah ucapan yang
jika engkau membacanya niscaya engkau tidak diganggu oleh setan yaitu bacaan
Ayat Kursi.” Abu Ayyub lalu datang kepada Nabi seraya mengabarkan omongan hantu
tersebut, lalu Nabi bersabda, “Dia benar dalam hal ini, padahal dia adalah
pembohong.”
3. Memakmurkan rumah dengan dzikir dan ketaatan
Hal ini berdasarkan
sabda Nabi:
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِى تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Jangan jadikan rumah
kalian seperti kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan di
dalamnya Surat al-Baqarah.” (HR. Muslim: 1860)
At-Turkumani
pernah bercerita bahwa salah seorang gurunya sering diganggu oleh hantu ketika
malam hari sehingga melempari batu dan membuat penghuni rumah takut, lalu
beliau dan rekannya pergi ke rumah sang guru dan membaca Surat al-Baqarah
secara sempurna kemudian berdoa. Setelah itu, rumah tersebut tidak lagi
diganggu oleh hantu. Semua itu adalah karena keberkahan al-Qur’an.[20]
4. Menghilangkan rasa takut terhadap hantu
Inilah
wasiat Umar bin Khaththab tatkala mengatakan, “Buatlah hantu takut kepada
kalian sebelum mereka membuat kalian takut.”. [21]
5. Tidak bergadang ketika sudah larut malam
Hal ini berdasarkan
hadits:
إِيَّاكَ وَالسَّمَرَ بَعْدَ هَدْأَةِ اللَّيْلِ، فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُوْنَ مَا يَأْتِي اللَّهُ مِنْ خَلْقِهِ
“Janganlah
kalian bergadang ketika malam sudah sunyi/hening, karena kalian tidak tahu apa
yang Allah datangkan dari makhluk-Nya.” [22]
6. Mengumandangkan adzan
Ada beberapa hadits
yang lemah tentang masalah ini, tetapi ada hadits shahih yang dijadikan dasar
oleh ulama dalam masalah ini yaitu:
إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ حُصَاصٌ
“Sesungguhnya
apabila muadzin mengumandangkan adzan maka setan akan lari dengan
terkentut-kentut.” [23]
Abu
Awanah mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini, “Dalam hadits ini terdapat
dalil bahwa seorang apabila merasa ada hantu atau mendapati orang yang
kesurupan lalu dia adzan maka setan akan lari darinya.” Dan ini juga didukung
oleh atsar Umar bin Khaththab yang lalu, karena atsar tersebut adalah shahih,
dan sekalipun hanya sampai kepada Umar (mauquf) namun hukumnya marfu’ (sampai
kepada Nabi).
Demikianlah
pembahasan singkat tentang hantu. Kita berdo’a kepada Allah agar menjaga kita
semua dari godaan setan yang terkutuk dan memberikan kepada kita semua
kebahagiaan dan ketenteraman di dunia dan akhirat. Âmîn yâ Rabbal
’âlamîn.
[1] Para ulama telah menulis
secara khusus tentang masalah “hantu” seperti Muhammad bin Ahmad bin Thulun
ash-Shalihi (wafat 953 H) dalam bukunya Bughyatus Sûl fî Mâ Warada
fil Ghûl sebagaimana dalam al-Fuluk al-Maskhun fî Ahwali
Muhammad bin Thulun hlm. 30 dan at-Tadzkirah at-Taimuriyyah hlm.
292. Dan pada zaman sekarang, Syaikhuna Masyhur bin Hasan alu Salman telah
menulis buku berjudul al-Ghûl Bainal Hadîts Nabawi wal Mauruts Sya’bi cet.
Dar Ibnul Qayyim, KSA, cet. pertama, 1409 H. Dan dalam pembahasan ini,
kami banyak mengambil manfaat dari buku beliau tersebut beserta
nukilan-nukilannya. Perhatikanlah!!
[2]
Jamharatul Lughah 3/150
Jamharatul Lughah 3/150
[3]
Lisânul ’Arab 11/510
Lisânul ’Arab 11/510
[4]
Tafsîr al-Qur’ânil ’Azhîm 1/313
Tafsîr al-Qur’ânil ’Azhîm 1/313
[5]
Al-Hayawan 6/442
Al-Hayawan 6/442
[6]
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/489, al-Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah 7/121, Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya 1/314 dan al-Mubarokfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 8/185.
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/489, al-Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah 7/121, Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya 1/314 dan al-Mubarokfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 8/185.
[7]
Seperti diceritakan oleh al-Qazwini dalam ’Ajâibul Makhluqât 2/176–177, ad-Damiri dalam Hayâtul Hayawan al-Kubrâ 2/196, al-Mas’udi dalam Muruj Dzahab 2/169.
Seperti diceritakan oleh al-Qazwini dalam ’Ajâibul Makhluqât 2/176–177, ad-Damiri dalam Hayâtul Hayawan al-Kubrâ 2/196, al-Mas’udi dalam Muruj Dzahab 2/169.
[8]
Lihat juga Tafsîr al-Qurthûbî 15/87.
Lihat juga Tafsîr al-Qurthûbî 15/87.
[9]
Oleh karena itu, dari berbagai riwayat hadits Abu Ayyub bahwa hantu itu berwujud seekor kucing lalu berubah menjadi nenek tua. Dalam hadits Ubai bin Ka’ab hantu itu berwujud bocah kecil bertangan dan berambut anjing. Dalam hadits Mu’adz hantu itu berwujud gajah.
Oleh karena itu, dari berbagai riwayat hadits Abu Ayyub bahwa hantu itu berwujud seekor kucing lalu berubah menjadi nenek tua. Dalam hadits Ubai bin Ka’ab hantu itu berwujud bocah kecil bertangan dan berambut anjing. Dalam hadits Mu’adz hantu itu berwujud gajah.
[10]
Shahih. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf 5/162, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf10/397, Ibnu Hazm dalam al-Fishâl 5/5. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fat-hul Bârî (6/344), “Sanadnya shahih.”
Shahih. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf 5/162, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf10/397, Ibnu Hazm dalam al-Fishâl 5/5. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fat-hul Bârî (6/344), “Sanadnya shahih.”
[11]
Fat-hul Bârî 6/344
Fat-hul Bârî 6/344
[12]
Tafsîr al-Manâr 7/526. Lihat pula al-Hayawan 6/472 oleh ad-Damiri, Dhawâbith al-Ma’rifah wa Ushûl Istidlâl wal Munâzharah hlm. 31 oleh Abdurrahman al-Maidani, dan Bulûghul ’Arab 2/348 oleh al-Alusi.
Tafsîr al-Manâr 7/526. Lihat pula al-Hayawan 6/472 oleh ad-Damiri, Dhawâbith al-Ma’rifah wa Ushûl Istidlâl wal Munâzharah hlm. 31 oleh Abdurrahman al-Maidani, dan Bulûghul ’Arab 2/348 oleh al-Alusi.
[13]
Musykilul Âtsâr 1/342 dan dinukil oleh al-Ubai dalam Ikmalu Ikmalil Mu’lim Syarh Shahih Muslim 6/40.
Musykilul Âtsâr 1/342 dan dinukil oleh al-Ubai dalam Ikmalu Ikmalil Mu’lim Syarh Shahih Muslim 6/40.
[14]
Mabariqul Azhar 1/238
Mabariqul Azhar 1/238
[15]
Lihat secara luas tentang masalah penyakit menular dalam tulisan kami “Penyakit menular antara ilmu hadits dan ilmu medis” dalam Majalah Al Furqon edisi…
Lihat secara luas tentang masalah penyakit menular dalam tulisan kami “Penyakit menular antara ilmu hadits dan ilmu medis” dalam Majalah Al Furqon edisi…
[16]
Tahdzîbul Âtsâr 1/36–37. Lihat pula Ikmalu Ikmalil Mu’lim 6/40–41 oleh al-Ubai, Faidhul Qadîr 6/434 oleh al-Munawi.
Tahdzîbul Âtsâr 1/36–37. Lihat pula Ikmalu Ikmalil Mu’lim 6/40–41 oleh al-Ubai, Faidhul Qadîr 6/434 oleh al-Munawi.
[17]
Syarh Shahih Muslim 14/216
Syarh Shahih Muslim 14/216
[18]
Ar-Raudh al-Anif 7/295, 296. Lihat pula Khizânatul Adab 11/314 oleh al-Baghdadi, al-Fathur Rabbani 17/194 oleh as-Sa’ati.
Ar-Raudh al-Anif 7/295, 296. Lihat pula Khizânatul Adab 11/314 oleh al-Baghdadi, al-Fathur Rabbani 17/194 oleh as-Sa’ati.
[19]
Syarhus Sunnah 12/173
Syarhus Sunnah 12/173
[20]
Lihat al-Luma’ fil Hawâdits wal Bidâ’ hlm. 436–437.
Lihat al-Luma’ fil Hawâdits wal Bidâ’ hlm. 436–437.
[21]
Hasan. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf: 9250, Abu Ubaid dalam Gharîbul Hadîts 3/325 dan dihasankan oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan Salman dalam kitabnya al-Ghûl hlm. 116. Dan lihat makna atsar ini dalam an-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts 2/6 oleh Ibnul Atsir, Gharîbul Hadîts 1/210–211 oleh al-Khaththabi,al-Fâ’iq 4/103 oleh az-Zamakhsyari.
Hasan. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf: 9250, Abu Ubaid dalam Gharîbul Hadîts 3/325 dan dihasankan oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan Salman dalam kitabnya al-Ghûl hlm. 116. Dan lihat makna atsar ini dalam an-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts 2/6 oleh Ibnul Atsir, Gharîbul Hadîts 1/210–211 oleh al-Khaththabi,al-Fâ’iq 4/103 oleh az-Zamakhsyari.
[22]
Hasan. Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/284 seraya mengatakan, “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi, tetapi Syaikh al-Albani hanya menyatakan hasan dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah 4/346.
Hasan. Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/284 seraya mengatakan, “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi, tetapi Syaikh al-Albani hanya menyatakan hasan dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah 4/346.
[23]
HR. Muslim: 883, Ad-Daraquthni dalam al-Mu’talif wal Mukhtalif 2/962 dan Abu Awanah dalam Musnad-nya 1/334–335.
HR. Muslim: 883, Ad-Daraquthni dalam al-Mu’talif wal Mukhtalif 2/962 dan Abu Awanah dalam Musnad-nya 1/334–335.